Trenyuh (Jw), entah apa padanannya dalam Bahasa Indonesia. Hanya hati yang dapat merasakan, ada rasa haru, sedih, dan menyesalkan; menjadi satu. Hingga tanpa terasa mata ini digenangi air. Entah harus mnengungkapkannya dengan kata-kata apa, hanya "trenyuh".
Itulah yang saya rasakan pagi ini begitu membuka  berita di Kompas.com, dengan judul "3 Tersangka Susur Sungai Sempor Minta Digunduli untuk Keamanan". Ketiga tersangka yaitu IYA, R, dan DDS. Mungkin pembaca pun akan merasakan seperti apa yang saya rasakan. Termasuk ketika sebelumnya ada perasaan geram dan benci.
Terlebih ketika membaca pemberitaan sebelumnya, yang menyebutkan bahwa para Pembina sudah diperingatkan warga agar mengurungkan rencana melakukan kegiatan susur sungai karena di hulu hujan deras dan kemungkinan ada banjir, tetapi justru dijawab dengan nada tidak mengindahkan. Judul beritanya, "Sempat Diperingatkan Warga Tak Susur Sungai, Pembina Jawab "Kalau Mati di Tangan Tuhan"
Sebelum lanjut perlu penulis kemukakan, tulisan ini terkait dengan peristiwa susur Sungai Sempor oleh siswa-siswi SMP Negeri I Turi, Sleman, Yogyakarta, yang berakibat 10 siswa tewas dan belasan siswa lainnya luka-luka.
Dengan mengetahui hal-hal di atas mungkin pembaca pun punya tanggapan yang sama dengan saya. Tunggu dulu sampai pemberitaan cukup lengkap dan jelas, baru memberi tanggapan.Â
Sehingga tidak seperti kasus nyata yang sering terjadi: sudah terlanjur di media sosial memberi ucapan "inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun" atas kematian seseorang, padahal ternyata orang yang dimaksud masih segar bugar. Ternyata yang meninggal orang lain (ada kesamaan nama, salah informasi, tidak melakukan cek dan ricek, salah pengertian, dan berbagai salah yang lain).
*
Mengapa sampai ada perubahan dari geram dan benci menjadi trenyuh? Sekali lagi ini ihwal perasaan dan hati, mengenai sesuatu yang terdalam dalam diri kita karena pemberitaan yang kita terima.
Betapa orang tidak marah ketika si pemberi ide dan sekaligus Pembina Pramuka satu kegiatan yang melibatkan 250 siswa/siswi untuk melakukan susur sungai justru "punya urusan lain", dan tidak berada di tempat saat peristiwa terjadi. Akibatnya ia tidak dapat mengambil keputusan cepat yang mestinya dilakukan pada detik-detik terakhir ketika air Sungai Sempor meninggi dan menjadi semakin deras menjadi banjir tak terkendali.
Tidak adanya tanggungjawab itu yang menjadikan bukan hanya para orang tua yang putera/puteri mereka menjadi korban (luka-luka, atau tewas) menyesali perbuatan Pak Pembina. Menyesali, mungkin pilihan kata yang sangat lunak. Sebab  bisa saja para orang tua sebenarnya menyumpahi, melontarkan sumpah-serapah, mengancam, mengutuk, mengamuk, bahkan hendak mencederai si biang kerok.
Adakah yang dapat menggantikan semua bentuk kemarahan itu selain dengan pasrah, minta maaf, mengakui kesalahan, dan lalu dengan ikhlas hendak mengikuti hukum yang berlaku. Dan bahkan yang membuat trenyuh: ketiga tersangka tidak mau dibeda-bedakan dengan tahanan yang lain, yaitu diperlakukan tanpa alas kaki, mengenakan kemeja berwarna oranye, dan kepala digunduli.Â
*
Musibah itu memang harus terjadi. Dan demikianlah Allah telah berkehendak. Menyesali berlebih tidak ada gunanya, bahkan menjadi seolah menentang kemahakuasaan Allah.
Namun, di balik itu semua ada banyak hikmah dan pembelajaran penting. Pertama, para siswa yang mengikuti susur sungai tidak ada seorang pun yang membandel dari "perintah" Pembina Pramuka dengan beralasan sesuatu untuk meninggalkan tempat itu. Ungkapan lama "guru, digugu lan ditiru" (guru, dipatuhi dan diteladani) agaknya masih berlaku bagi para siswa di sana. Sementara sang Pembina justru ngacir.
Kedua, mengenal cuaca (dengan segenap perilaku sebab-akibat peristiwa alam yang menyertai) sungguh penting untuk menghindar dari sesuatu yang buruk. Â Peringatan warga mestinya menjadi pertimbangan untuk mengalihkan dengan kegiatan lain.Â
Apalagi bila mengingat kegiatan susur sungai itu bukan sebuah lomba, bukan untuk penilaian terhadap setiap siswa, tidak ada target yang dikejar, dan dapat dilakukan lain kali bila cuaca dan kondisinya lebih kondusif. Â Â
Ketiga, Â musibah itu memunculkan dua sosok "pahlawan" yang dengan niat-semangat dan kerelaan berhasil menyelamatkan puluhan siswa/siswa yang dihanyutkan banjir.
Perjuangan berjibaku selama 2,5 jam (bersama sejumlah warga yang lain) mereka berhasil menyelamatkan para siswa yang hanyut. Untuk itu Mbah Diro (71) dan Sudarwanto alias Kodir mendapatkan penghargaan dari Kementerian Sosial berupa uang sebesar Rp 10 juta dan sertifikat, Jumat (21/2/2020).
Rupanya jiwa kepahlawanan keduanya tidak berhenti di situ. Uang penghargaan yang  mereka terima akan disumbangkan ke masjid dan (selebihnya) dibagikan kepada warga yang ikut menolong.
*
Akhirnya sebagai pelengkap, bagus saya kutipkan salah satu alinea berita di Kompas.com di atas:
IYA menegaskan, proses hukum harus dijalankan. IYA bersama R dan DDS memang harus mempertanggungjawabkan atas apa yang terjadi. "Ini kan risiko kami, memang harus dipertanggungjawabkan. Pertama kami harus mempertanggungjawabkan kepala Allah, yang kedua keluarga korban, yang ketiga mempertanggungjawabkan pada hukum," tandasnya.
Satu lagi, dari KBBI online: trenyuh/tre*nyuh/ Jw a terharu bercampur sedih: kita sesama manusia merasa -- menyaksikan kejadian itu
Itu saja. Mudah-mudahan melalui trenyuh itu kita masih mampu menumbuhkan empati dan simpati, dan juga sikap berbaik sangka. Baik terhadap para tesangka, terlebih kepada para korban dan keluarga mereka, juga kepada para "pahlawan" yang dengan ikhlas berhasil menyelamatkan puluhan nyawa. ***
Cibaduyut, 27 Februari 2020
Simak tulisan menarik lain:
minat-baca-hilang-taman-bacaan-dijual
menanggapi-celoteh-bu-sitti-hikmawatty-yang-bikin-geli
cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H