Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gubernur Icikiwir Bermain Drama (2)

24 Februari 2020   13:18 Diperbarui: 5 Maret 2020   16:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya: Teater Karbit akan mementaskan sebuah lakon dengan tokoh utama Gubernur Icikiwir. Tiga bulan depan pentas dilaksanakan. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk perekrutan pemain dan kru panggung lainnya. Tuan Jabrik menjadi  tangan kanan Bos --Denmas Sasmito- . Casting terberat saat menentukan siapa yang paling cocok menjadi pemeran utama.  Ribuan orang mendaftar, salah satunya Dul Gendut.

*

Tinggallah Dul Gendut seorang yang nekat untuk mengikuti tes babak berikutnyu.

"Sudah baca naskahnya?" dengus Tuan Jabrik memulai pertanyaan bernada interogasi.

"Tuntas. Dari A sampai Z, dan kembali lagi ke A. .. .!"

 "Paham inti-sari isinya?"

"Kukira penulisnya saja yang paham. Pembaca tulisan hanya boleh menafsir, mendekati, dan coba memahami. Selebihnya tidak. . . !"

Tuan Jabrik menyedot rokok kretek yang dari tadi terselip di jemari tangan kiri. Sedotan penuh, dan asap yang dikepulkannya pun utuh menghadang lubang hidung Dul Gendut.

"Ohh, begitu. Lalu bagaimana mungkin kita mampu menghayati perannya dengan baik kalau isi naskah tidak dipahami? Aneh 'kan? Bagaimana mungkin?" geram Tuan Jabrik dengan suara tertekan.

Dul Gendut tidak terpancing. Ia hanya mendehem, terbatuk kecil, dan bicara sendiri. "Tidak seperti itu. Selesai membaca naskah itu saya merasa diri jadi Gubernur Icikiwir sepenuhnya. Luar dalam. Hati dan pikiran menyatu ke sana. Membayangkan bahwa gubernur yang konyol itu sudah saya banget. . . . . !" ujar Dul Gendut santai diselingi senyum kecil.

Tuan Jabrik jengkel, kesal, dan segera marah besar. Tapi tidak. Pada detik itu hatinya cair, sebab secara taka terduga muncul Nona Salomania. Si Manis berselung pipi itu membawa cangkir melamin berisi kopi panas, dengan aroma menyengat hidung.

"Jangan terlalu serius begitu, Tuan Jabrik. Mendingan seruput dulu kopi hitam pekat ini, seteguk dua teguk. Rasakan sensasinya, bakal lumer di bibir dan meresap di hati,  pembicaraan jadi lebih lancar. . .  !" ucap si Nona dengan gaya sok barita piawai  sedang menyanjung hasil karyanya sendiri.

"Ohh begitu ya, Nona Saloma.. . ."

"Panggil saya Nia saja, Tuan. Itu lebih akrab dan intim. Seperti mantan-mantan saya bila memanggil sayang pada saya," ucap si Nona. Ia belum mau beranjak dari sisi meja tempat Tuan Jabrik mewawancarai Dul Gendut.

Tuan Jabrik memang langsung menyeruput kopi panas itu. Ia tak tahan aroma kopi dibiarkan lebih lama. "Oke. Siap, Nona Nia. Terima kasih kopinya. Lain kali bawakan juga roti bakar, pisang panggang, atau kue lain sebagai teman si kopi. Itu lebih sopan dan mantap kurasa. Setidaknya kacang kulit rebus. . . . . !"

Tapi Nona Nia sudah menjauh. Langkahnya ringan, dan hak tinggi yang dipakainya tidak menimbulkan suara gaduh pada lantai yang diinjaknya. Sampai di ujung ruang, sorot mata Tuan Jabrik masih mengikuti, dan diakhiri dengan menarik nafas panjang. Ia membayangkan ada sesosok bidadari yang membawakan secangkir kopi buatnya.

Tuan Jabrik tercengang, dan hampir-hampir tak percaya bahwa perempuan sintal, semampai, dan tampil sangat modis itu pernah dipacarinya hampir satu tahun. Sampai kemudian isteri Tuan Jabrik mengendus sesuatu yang busuk, melabrak, dan minta dicerai bila perselingkuhan itu tak dapat dihentikan.

"Aku bukan tidak mau dimadu. Tapi kerjamu serabutan, ngaku-ngaku pengusaha. Sok kaya. Padahal dapat uang dari utangan. . . . . .  !":

"Ampun, Bu. Jangan buka semua aibku. Ampun, Bu. . . .  !"

"Ini bukan buka-buka air, bukan mau mempermalukan. Sekadar agar kamu sadar. Hidupmu kapiran. Kalau bukan aku yang mau menjadi isteriimu tidak bakal ada perempuan lain yang sudi. Nah, sekarang coba-coba selingkuh. . . . !"

"Baru coba-coba, Bu. . . .!"

"Dasar bodoh. Miskin, bodoh, tapi sok kaya. .  . . "

"Bodoh, Bu?"

"Belajar jadi kaya dulu. Kerja keras dan rajin menabung. Kaya, lalu punya isteri banyak. Aku tidak akan marah .  .!"

"Banyak, Bu?"

"Ya, banyak. Dua sampai empat. Tapi langkahi dulu mayatku. . . . !"

"Ohh. Ampun, Bu. Langkahi mayatmu? Ngeri, ahh. Mayat kecoa saja aku takut. Mana pula mayatmu. Jangan bercanda keterlaluan begitu ahh. . . . !"

Tuan Jabrik meringis sendiri jika ingat peristiwa itu. Bakatnya bermain drama sepenuhnya tercurah jika menghadapi isteri. Dan entah tahu atau tidak, isterinya selalu menanggapi dengan drama yang tak kalah mengharukan pula.

Mata dan pikiran Tuan Jabrik menerawang ke mana-mana. Ia jadi kurang fokus di depannya ada sosok yang harus diuji.

Giliran Dul Gendut tercengang. Ia merasa gerak-gerik dan lirik mata Tuan Jabrik lebih mengerikan dibandingkan tatapan predator manapun. Maka ia bertanya dengan gaya tanpa menggurui.

"Tuan Jabrik, saya ada usul., , , "

"Usul? Ini bukan rapat. Bodoh. . . . . !"

"Memang bukan rapat. Tapi usul 'kan tidak harus dalam rapat. Dalam wawancara kerja pun boleh. . . . "

"Terserah kamu."

Tuan Jabrik dan Dul Gendut saling pandang beberapa lama. Saling menakar keseriusan ucapan  masing-masing.

"Usul nih, Tuan Jabrik. Kalau tidak salah menilai, saya rasa Nona Nia sangat pas menjadi isteri Gubernur Icikiwir dalam pentas nanti, Tuan. Pak Gubernur konyol setengah badut, sedangkan isterinya anggun-terpelajar dan berkelas tapi pintar melucu . . . . . !"

"Hahaha. . . ., ide bagus. Cerdas. Kamu punya otak juga rupanya. Hahahaha. Tapi kalau ia jadi isteri gubernur Icik, tentu bukan kamu yang jadi gubernurnya, melainkan aku sendiri. Aku rela berlatih siang malam, pagi sore, bahkan tidak pulang-pulang ke rumah untuk berperan total menjadi Gubernur itu. . . . "

"Oke, nggak masalah. Kalau begitu izinkan saya yang ganti mewawancarai Tuan Jabrik. Untuk mengukur seberapa canggih akting Tuan. Mohon maaf. . .  . !"

Tuan Jabrik murka seketika. Ia menggebrak meja. Dan Dul Gendut tidak meneruskan ucapannya. Ia pilih ambil langkah seribu, kabur entah kemana, jauh-jauh. 

*** Bersambung

Sumber Gambar

Tulisan menarik sebelumnya:

cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama (1)

ceroboh-susur-sungai-siswa-smp-sleman-6-siswa-tewas

narkoba-rp-1-5-triliun-dimusnahkan-berapa-beredar-di-luar

jawa-sentris-media-proporsional-dan-komprehensif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun