"Jangan terlalu serius begitu, Tuan Jabrik. Mendingan seruput dulu kopi hitam pekat ini, seteguk dua teguk. Rasakan sensasinya, bakal lumer di bibir dan meresap di hati,  pembicaraan jadi lebih lancar. . .  !" ucap si Nona dengan gaya sok barita piawai  sedang menyanjung hasil karyanya sendiri.
"Ohh begitu ya, Nona Saloma.. . ."
"Panggil saya Nia saja, Tuan. Itu lebih akrab dan intim. Seperti mantan-mantan saya bila memanggil sayang pada saya," ucap si Nona. Ia belum mau beranjak dari sisi meja tempat Tuan Jabrik mewawancarai Dul Gendut.
Tuan Jabrik memang langsung menyeruput kopi panas itu. Ia tak tahan aroma kopi dibiarkan lebih lama. "Oke. Siap, Nona Nia. Terima kasih kopinya. Lain kali bawakan juga roti bakar, pisang panggang, atau kue lain sebagai teman si kopi. Itu lebih sopan dan mantap kurasa. Setidaknya kacang kulit rebus. . . . . !"
Tapi Nona Nia sudah menjauh. Langkahnya ringan, dan hak tinggi yang dipakainya tidak menimbulkan suara gaduh pada lantai yang diinjaknya. Sampai di ujung ruang, sorot mata Tuan Jabrik masih mengikuti, dan diakhiri dengan menarik nafas panjang. Ia membayangkan ada sesosok bidadari yang membawakan secangkir kopi buatnya.
Tuan Jabrik tercengang, dan hampir-hampir tak percaya bahwa perempuan sintal, semampai, dan tampil sangat modis itu pernah dipacarinya hampir satu tahun. Sampai kemudian isteri Tuan Jabrik mengendus sesuatu yang busuk, melabrak, dan minta dicerai bila perselingkuhan itu tak dapat dihentikan.
"Aku bukan tidak mau dimadu. Tapi kerjamu serabutan, ngaku-ngaku pengusaha. Sok kaya. Padahal dapat uang dari utangan. . . . . . Â !":
"Ampun, Bu. Jangan buka semua aibku. Ampun, Bu. . . . Â !"
"Ini bukan buka-buka air, bukan mau mempermalukan. Sekadar agar kamu sadar. Hidupmu kapiran. Kalau bukan aku yang mau menjadi isteriimu tidak bakal ada perempuan lain yang sudi. Nah, sekarang coba-coba selingkuh. . . . !"
"Baru coba-coba, Bu. . . .!"
"Dasar bodoh. Miskin, bodoh, tapi sok kaya. . Â . . "