Cerita sebelumnya: Teater Karbit akan mementaskan sebuah lakon dengan tokoh utama Gubernur Icikiwir. Tiga bulan depan pentas dilaksanakan. Berbagai persiapan dilakukan, termasuk perekrutan pemain dan kru panggung lainnya. Tuan Jabrik menjadi  tangan kanan Bos --Denmas Sasmito- . Casting terberat saat menentukan siapa yang paling cocok menjadi pemeran utama.  Ribuan orang mendaftar, salah satunya Dul Gendut.
*
Tinggallah Dul Gendut seorang yang nekat untuk mengikuti tes babak berikutnyu.
"Sudah baca naskahnya?" dengus Tuan Jabrik memulai pertanyaan bernada interogasi.
"Tuntas. Dari A sampai Z, dan kembali lagi ke A. .. .!"
 "Paham inti-sari isinya?"
"Kukira penulisnya saja yang paham. Pembaca tulisan hanya boleh menafsir, mendekati, dan coba memahami. Selebihnya tidak. . . !"
Tuan Jabrik menyedot rokok kretek yang dari tadi terselip di jemari tangan kiri. Sedotan penuh, dan asap yang dikepulkannya pun utuh menghadang lubang hidung Dul Gendut.
"Ohh, begitu. Lalu bagaimana mungkin kita mampu menghayati perannya dengan baik kalau isi naskah tidak dipahami? Aneh 'kan? Bagaimana mungkin?" geram Tuan Jabrik dengan suara tertekan.
Dul Gendut tidak terpancing. Ia hanya mendehem, terbatuk kecil, dan bicara sendiri. "Tidak seperti itu. Selesai membaca naskah itu saya merasa diri jadi Gubernur Icikiwir sepenuhnya. Luar dalam. Hati dan pikiran menyatu ke sana. Membayangkan bahwa gubernur yang konyol itu sudah saya banget. . . . . !" ujar Dul Gendut santai diselingi senyum kecil.
Tuan Jabrik jengkel, kesal, dan segera marah besar. Tapi tidak. Pada detik itu hatinya cair, sebab secara taka terduga muncul Nona Salomania. Si Manis berselung pipi itu membawa cangkir melamin berisi kopi panas, dengan aroma menyengat hidung.