Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasihat Lama "Ojo Gumunan" untuk Solusi Kesenjangan

23 Februari 2020   00:35 Diperbarui: 23 Februari 2020   00:35 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak setiap nasihat lama kadaluwarsa. Sebab ada diantaranya yang tahan cuaca, tahan banting, dan bahkan tahan hujatan. Kalau kita sabar, dan mau sedikit merenung. Kurang-lebih begitulah hasil akhirnya.

Apa misal nasihat lama itu? Maaf dalam Bahasa Jawa: "ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh". Artinya, "jangan cepat terpesona, jangan cepat kaget/terkejut, dan jangan mentang-mentang."

Itu nasihat sederhana saja. Tapi memang tidak mudah mewujudkannya. Yang banyak terjadi justru sebaliknya. Yang ngetren juga yang "gumunan, kagetan, dan dumeh".

Sebelum lanjut, perlu penjelasan terkait dengan kata "tahan" di atas. Orang yang terpesona serupa dengan orang yang terhipnotis. Apapun yang ditawarkan orang diterima, diiyakan, disetujui.

Kita terpesona bula maka siapapun asal bule bolehlah. Kita terpesona Arab, maka apapun yang dilakukan si Arab tak jadi soal. Kita benci China maka apapun dan bagaimanapun benci saja. Padahal ketiganya punya lebih dan kurangnya, punya curang dan jujurnya, punya baik dan buruknya.

Maka betapa banyak orang tertipu. Dengan modus apa saja si penipu membawakan diri untuk dapat mempesona calon korban. Sebut saja contoh: WO bodong, umroh kabur, investasi tipu-tipu, penyalur tenaga kerja abal-abal, arisan macet, syuting iklan produk lari, dan banyak lagi.   

Itu yang kasat mata. Sedang yang tak kasat mata maraknya penggunaan penglaris, memanfaatkan pesugihan, penggunaan jimat dan mantera, penggandaan uang, main santet dan dukun, dan  lain-lain.

Itu sebabnya "ojo gumunan", jangan mudah terpesona-tergiur-terbujuk iming-iming. Setan sangat pandai memberi iming-iming. Kelak di akhirat ia cuci tangan, dan tidak mau ikut bertanggungjawab.

Mereka yang terbujuk akhirnya rugi-kehilangan-kalah-malu, dan terperosok ke neraka.

Mengenai "ojo kagetan dan ojo dumeh" dapat dicari sendiri contohnya. Tidak sulit. Tapi khusus yang "ojo dumeh" itu yang agaknya paling relevan dengan topik mencari solusi kesenjangan sosial di tanah air.

*

Kalau untuk yang "ojo kagetan" sangat aktual, yaitu pernyataan Menko PMK Muhadjir Effendy tentang imbauan agar orang kaya menikahi orang miskin.

Tampak seperti orang kurang kerjaan, asal ngomong, dan ngawur. Padahal tidak sepenuhnya seperti itu. Sekali lagi bila kita sedikit mau merenung. Ini bukan mencari pembenaran, atau sekadar bela diri.

Bukankah ada ungkapan lama: tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan yang di atas memberi, dan tangan yang di bawah menengadah alias mengemis, meminta, menerima.

Dalam bahasa agama pun banyak ayat dalam kitab suci yang menganjurkan orang kaya-mampu-berkelebihan membantu si miskin. Bentuk bantuannya bermacam-macam, diantara menyembelih hewan kurban, memberikan zakat- infak-sodakah.

Ada ketentuan pula bahwa 40 tetangga, di sekeliling rumah kita, merupakan saudara yang harus diprioritaskan dalam pemberian bantuan. Jangan ada diantara tetangga yang kelaparan dan kita diam saja, padahal kita punya kelebihan makanan.

Terkait hal itu maka pernyataan Muhadjir Effendy di atas buka hal yang luar biasa mengagetkan. Bukan pula ingin mengatur soal jodoh orang per orang. Khusus untuk muslim dapat mengacu pada ketentuan bahwa menikah diperbolehkan sampai 4 isteri bila dapat berlaku adil, dan dengan persyaratan tertentu.  

Dengan beberapa gambaran di atas maka sebenarnya mekanisme memperoleh solusi kesenjangan sudah di atur lengkap oleh aturan agama.

*

Lalu mengenai nasihat "ojo dumeh" pun tak sulit-culit mencari contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja orang jor-jor membangun masjid yang paling megah, paling mewah, paling modern.

Sementara mungkin warga di sekitar masjid serba berkekurangan. Apa tidak lebih baik rumah mereka yang rusak, hampir rubuh, bocor, tanpa dinding, dan hal lain serupa itu didahulukan untuk diperbaiki.

Niatnya sama, untuk membangun masjid. Tetapi ada yang perlu diprioritaskan, yaitu memperbaiki rumah warga yang kurang mampu. Kegiatanitu sekaligus syi'ar untuk memakmurkan masjid.  

Bukankah seperti dikhotbahkan pada setiap Jumatan, pada salat Idul Fitri dan Idul Adha, maupun dalam ceramah-ceramah umum lainnya, bahwa ibadah ritual setiap muslim harus dibarengan dengan ibadah sosial. Upaya menegakkan salat, harus diiringi dengan membayar zakat.

Bahwa "takbiratul ikrom" sebagai wujud menyembah kepada Allah SWT dalam permulaan setiap salat, dibarengan dengan ucapan "Assalamu 'alaikum"  sambil menoleh ke kanan dan ke kiri sebagai bentuk keharusan melakukan ibadah sosial kepada warga sekeliling.

Jadi apa yang luar biasa dari imbauan agar orang kaya menikahi orang miskin?

*

Masih terkait dengan ibadah ritual, tiap tahun saat musim haji maka berbondong-bondong orang menuju Mekah Al Mukaromah. Untuk yang pertama pergi haji, dan memang kewajibannya hanya sekali, teruskan saja tidak masalah. Tetapi berapa banyak yang sudah melaksanakan haji ke dua, ketiga, dan seterusnya.

Alakah lebih baik nilai ibadahnya manakala biaya untuk haji pada hitungan kedua dan seterusnya itu dijadikan amal jariah kepada warga sekeliling yang tidak mampu. Alangkah indahnya orang yang berencana pergi haji yang kedua, setelah uang terkumpul dan hendak melunasi biaya haji sekian puluh juta rupiah tiba-tiba terbetik dalam pikirannya untuk membantu orang lain saja.

Ada cerita unik pada zaman Nabi, yaitu ada seseorang yang tidak jadi berangkat haji, lantaran biaya yang telah dikumpulkan untuk haji digunakanuntuk membantu pembiayaan tetangga yang sakit. Dan ternyata dari seluruh Jemaah haji tahun itu justru ia yang mendapatkan haji makbrur.

Bukan hanya haji, tetapi juga umroh. Ada yang hampir setiap tahun berangkat, dan terus berangkat. Mungkin cita-citanya belum kesampaian, yaitu meninggal di tanah suci. Tapi bila prinsip "ojo dumeh" dipraktikkan maka biaya yang ada mestinya dapat dimanfaatkan membantu tetangga. Misal untuk modal usaha kecil-kecilan, untuk pendidikan anak dari keluarga tidak mampu, untuk membiayai pelatihan kerja tetangga, dan seterusnya.

Alangkah indah hidup ini bila kekhusukan ibadah ritual dibarengi dengan sikap ringan tangan dalam berbagi untuk mewujudkan ibadah sosial. Solusi kesenjangan dapat dimulai dari sana.

*

Bila sudah demikian adanya maka sebenarnya tugas Pemerintah tidak terlalu sulit dan rumit seperti sekarang ini. Mengapa demikian?

Pertama, nafsu angkara dengan menumpuk-numpak harta -apapun jalan dan caranya- tersadarkan dengan ibadah sosial yang lebih tinggi, lebih banyak, lebih besar.

Dengan itu maka praktik keberagamaan --ritual dan sosial- makin mendalam dalam masyarakat. Karena terbukti sampai sekarang, hukum dan aturan seberat apapun tidak akan mempan pada orang-orang yang hatinya sudah terpaut pada dunia semata. Karena itu sentuhan budi pekerti dan agama harus lebih ditingkatkan.

Kedua, bila korupsi  dapat diminimalkan bahkan diberantas --dengan dukungan luas oleh masyarakat- maka berbagai proyek bantuan dan subsidi Pemerintah akan sampai kepada yang berhak. Program-program sosial lebih kaya manfaat. Dan untuk itu memotong jalur birokrasi menjadi salah satu strateginya.

Demikainpun tetap adanya kebocoran bukan tidak mungkin. Bahkan praktik dagang sapi oknum anggota dewan dan oknum Eksekutif maupun Yudikatif -khususnya yang menangani masalah anggaran- mestinya lebih dahulu diberantas tuntas sampai ke akar-akarnya.

Ketiga, seperti tuntunan agama setelah berjuang-berusaha dan bekerja keras maka harus diiringi dengan doa dan bertawakal. Allah saja yang menjadi sandaran tiap insan sebagai mahluk. Dan karena itu semuanya dikembalikan kepada Allah. Hasil akhir apapun Allah saja yang menentukan.

*

Tiap orang -dengan kapasitas dan kapabilias masing-masing- diberi tugas dan tanggungjawab untuk ikut mendukung program di atas. Siapa yang ingin mempelopori gerakan "mengentaskan diri sendiri dari kemiskinan" itu? Siapa yang sanggup menjadi pionir demi solusi kesenjangan agar tidak ada lagi keluarga miskin di negeri ini?

Itu saja sekedar usulan. Semoga bermanfaat dan tidak terlalu utopis. Jangan terlalu asyik demo-demo bela agama dan bela ulama, sambil memperlihatkan sekadar ibadah ritual, tapi abai pada keseriusan melakukan ibadah sosial. Maka "ojo gumunan".

Semoga bermanfaat, lebih-kurangnya mohon maaf. *** Sekemirung, 23 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun