Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gubernur Icikiwir Bermain Drama

22 Februari 2020   15:03 Diperbarui: 22 Februari 2020   15:00 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seraut wajah seorang aktor | Dok. pribadi

Selama ini sudah ada jabatan kepala desa, lurah, bupati dan walikota yang jenaka. Tetapi aneka jabatan itu sudah banyak dimain-mainkan dalam drama-drama yang lain. Bahkan dalam pentas lawak, selingan canda dalam wawancara, dan pentas musik. Lucu habis jabatan itu dikupas. Penonton sampai guling-guling tergelak, hingga ada yang mulas dan sakit perut. Ada pula yang harus diopname  di rumah sakit terdekat.

Atas pertimbangan rasional dan sekaligus komersial maka jabatan gubernurlah yang akhirnya dipilih untuk disandingkan dengan nama Icikiwir.

Nama Icikiwir bernuansa Sunda, dan tidak berarti apa-apa selain sekadar kata-kata. Sudah barang tentu sesekali muncul spontan rasa dan konotasi tertentu. Kata yang sama kadang dimaksud sebagai candaan, cibiran, atau sekadar omongan orang yang sedang meracau. Tergantung konteks pembicaraannya. Untuk nama bisa menggantikan sebutan si Fulan, Onoh, atau Dadap.

Begitulah awalnya. Tokoh utama sudah didapat, tinggal memikirkan hal-hal lain.

*

Pentas drama kolosal diumumkan kapan dan di mana oleh sutradara. Denmas Sasmito Ngoyoworo orangnya. Lalu buru-buru dibuka pendaftaran calon pemain, pemeran, dan segenap kru panggung, maupun berbagai pendukung lain.

Luar biasa besar peminatnya. Ribuan orang mendaftar. Antri, luber, dan penuh antusias. Nama Gubernur Icikiwir memberi daya tarik, magnit, dan pesona. Meski belum tahu ceritanya tentang apa. Sebab naskah belum dibuat juga.

"Betul ini pendaftaran jadi calon gubernur?" tanya seorang Emak yang entah dari mana tiba-tiba masuk dalam antrian paling ujung.

"Antri beras murah. Kalau antrian calon gubernur sebelas sana. . . . .!" ucap seorang Kakek sambil menunjuk ke satu arah. Loket memang ada tiga. Jumlah antriannya sama banyak, dan mengular berkelok-kelok.

Petugas keamanan mendekat dan menjelaskan. "Ini antrian untuk mendaftar pemain drama massal. Bukan antri beras, apalagi antri menjadi calon gubernur. . . . !"

Emak dan Kakek mengangguk-angguk. Keduanya tertawa geli sendiri. Hahahaha. Keduanya lalu bergandengan tangan, dan keluar dari antrian begitu saja. Orang-orang mengira keduanya stress.

*

Menyebut nama grup teater Karbit memang hanya satu yang dituju, yaitu Denmas Sasmito. Tidak ada sosok dan pengurus lain. Apalagi anggota. Ia sendirian saja sebagai Ketua Umum, merangkap Sekretaris dan Bendaraha, bahkan sekaligus sebagai penyandang dana, penulis naskah, dan sutradara. Pengurus selebihnya dicari dadakan saat pentas akan dilakukan.

Dua hari setelah ide besar nongol di kepala, Denmas Sasmito mempercayakan soal seleksi kru panggung dan lainnya kepada Tuan Jabrik. Penampilan bergaya Eropa tempo doeloe, lebih tepatnya serupa gambaran tuan tanah, yang menjadi Jabrik dipanggil Tuan.

"Tuan Jabrik. . . .!"

"Siap, Bos. Menunggu perintah. . . .!"

"Sarapan dulu sebelum mulai bekerja. Santai. Cari sosok terbaik, apalagi untuk pemeran utama.. . .!"

"Siap, Bos. Sosok terbaik tak jarang muncul dari akar rumput. . . !"

"Salah pilih, bangkrut kita. . .  !"

Dan entah mengapa Tuan Jabrik senang betul mendapatkan tanggungjawab mentereng itu. Sangat senang sebab itu berarti kesempatannya untuk menjadikan Nona Salomania yang cantik sebagai asisten, merangkap sekretaris dan bendahara, penyedia kopi, dan beberapa peran lain yang lebih pribadi.

*

Lakon yang hendak dipentaskan berbeda dibandingkan dengan lakon yang diusung grup teater kebanyakan. Grup Teater Karbit tidak berusaha sembunyi dan menyembunyikan apapun yang akan dipentaskan nanti. Meski itu demi diperoleh efek kejutan dan rasa penasaran. Yang ada justru diumbar. Perkara apakah nanti ceritanya seperti itu, atau berubah drastis, semua itu semata bagian dari strategi dagang.

"Rongsok, Mang. . . .?"

"Sumuhun. Rongsok, alias barang bekas."

"Rongsok isteri diterima ya. . . . ?"

"Hahaha. Biar ia mencari rongsok suami di tempat lain. Isteri saya sudah empat, Bang. Tidak mungkin tambah lagi, mohon maaf. . . . !"

Dialog itu tiba-tiba saja muncul di kepala Denmas Sasmito Ngoyoworo. Tentu saja Icikkiwir  pemereannya, semasa ia masih menjadi pemulung antar kampung.

Inti cerita selengkapnya, adalah Icikiwir yang yang seperti ketiban pulung. Semula ia hanya seorang pemulung dan jual beli rongsok.  Suatu hari ada seorang asisten rumah tangga yang menjual tumpukan kertas, buku, kardus, dan beberapa rongsok.

Singkat kata, ketika sedang suntuk menyorotir kertas dan kardus itu Icikiwir menemukan sebuah surat pengangkatan sebagai gubernur pada sebuah provinsi yang jauh di luar pulau. Heran, takjub, dan takut sekaligus meliputi perasaannya. Rasa penasaran dan antusias menggayuti pikiran.

"Heran. Ini berkas asli, atau kopian. Ah, tak mungkin.  Ini pasti orang-orang iseng punya kerjaan. Memancing orang untuk berlaku kriminal dengan mengisi blangko kosong ini. . . .!" gumam Icikiwir sendiri, lalu tersenyum, dan kemudian tertawa.  

Berkas surat itu masih kosong, tanpa nama. Sedangkan pengesahan dan tandatangan maupun cap sudah tertera rapi. Lucunya, surat pengangkatan itu berlaku mundur. Siapa saja yang bersedia sebagai gubernur silakan isi sendiri berkasnya. Dan Icikiwir tak keberatan mengisi berkas itu lengkap-lengkap. Siapa sih yang tidak tegiur untuk menjadi Gubenur?

"Aku tak takut disangka orang gila. Tapi ini nyata. Maka biarlah kuisi blangko kosong ini. Salah tidak rugi, kalau benar peruntungan sudah di tangan. Sungguh, Tuhan tidak kekurangan cara untuk berbagi rezeki. Tak takut pula untuk berbagi candaan. Nah, siapa takut?"

Seminggu kemudian dengan mengubah penampilan layaknya pejabat teras, Icikiwir berangkat ke luar pulau. Sesampai di tempat tujuan ia segera menyerahkan berkas-berkas, di tes kesehatan dan kewarasan, lalu dilantik oleh ketua dewan perwakilan rakyat setempat. Jadilah Icikiwir sebagai gubernur, dan drama sudah dapat dimulai.

"Nama?"

"Icik. . . .!"

'Nama lengkap?"

"Icikiwir Takiwir-kiwir bin Wirya Sumpena."

"Umur?"

"Lima puluh dua Oktober depan."

"Pekerjaan?"

"Murni wiraswasta. . . . !"

"Murni? Dibidang?"

"Kebersihan kota."

Penulis naskah membuat banyak kejutan dalam cerita itu. Hingga tak jarang ia sendiri terkejut-kejut hampir pingsan. Konyol memang, tapi bikin penasaran.

 *

Pentas tiga bulan lagi digelar, masih lama. Naskah lengkap sudah di tangan sutradara, sumber dana dari sponsor dan pengusaha gila seni dan pendukung lain sudah di tangan. Kini saatnya casting, cari pemain, menyiapkan kru panggung, pemusik dan lagunya, serta beberapa keperluan lain.

Tiga bulan bukan waktu panjang untuk sebuah persiapan. Jadwal harus dibuat ketat agar pada waktunya nanti pentas betul-betul matang, siap, dan menggelegar. Membuat penonton termehek-mehek, terhipnotis, tergadai, dan terpesona sedemikian rupa sampai lupa bahwa harga tikat mencekik leher.

"Jangan lupa. Tuan. . . .!"

"Siap, Bos. Mohon diingatkan kalau ada yang lupa. . . . . !"

"Humor, lucu, geli, dan kalau perlu dungu tampilkan tuntas. Penonton cari hiburan. Tokoh yang kita telanjangi tidak marah kalau dengan cara melucu. Kreatif dan cerdaslah untuk mendapati hal-hal seperti itu. . . .  !"

"Siap, Bos."

Sebuah pentas drama yang dahsyat memang tidak murah. Dan semua itu sebagai imbalan yang rasional untuk harga tiket yang perlembarnya mencapai besaran gaji pokok seorang karyawan swasta.

Karakter pertama yang harus dipilih tak lain peran Gubernur Icikiwir. Tokoh antagonis itu punya kejiwaan kompleks, punya jalan pikiran tidak mudah, dan bahkan cenderung absurd untuk dapat dimainkan oleh orang biasa-biasa saja. Puluhan orang tumbang bahkan ketika diminta menunjukkan ekspresi tertawa, termenung, berorasi.

Peserta lain warna suara dan intonasinya kurang mengigit, dan tidak mencerminkan akting dahsyat seorang orator andal. Audisi berhari-hari, dan terasa bertele-tele, selebihnya buyar. Hasilnya jeblok. Tinggallah Dul Gendut seorang yang nekat untuk mengikuti tes babak berikutnya. *** (Bersambung)

Sumber Gambar

Tulisan menarik lainnya:

susur-sungai-siswa-smp-sleman-6-siswa-tewas

narkoba-rp-1-5-triliun-dimusnahkan-berapa-beredar-di-luar

jawa-sentris-media-proporsional-dan-komprehensif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun