*
Pentas tiga bulan lagi digelar, masih lama. Naskah lengkap sudah di tangan sutradara, sumber dana dari sponsor dan pengusaha gila seni dan pendukung lain sudah di tangan. Kini saatnya casting, cari pemain, menyiapkan kru panggung, pemusik dan lagunya, serta beberapa keperluan lain.
Tiga bulan bukan waktu panjang untuk sebuah persiapan. Jadwal harus dibuat ketat agar pada waktunya nanti pentas betul-betul matang, siap, dan menggelegar. Membuat penonton termehek-mehek, terhipnotis, tergadai, dan terpesona sedemikian rupa sampai lupa bahwa harga tikat mencekik leher.
"Jangan lupa. Tuan. . . .!"
"Siap, Bos. Mohon diingatkan kalau ada yang lupa. . . . . !"
"Humor, lucu, geli, dan kalau perlu dungu tampilkan tuntas. Penonton cari hiburan. Tokoh yang kita telanjangi tidak marah kalau dengan cara melucu. Kreatif dan cerdaslah untuk mendapati hal-hal seperti itu. . . . Â !"
"Siap, Bos."
Sebuah pentas drama yang dahsyat memang tidak murah. Dan semua itu sebagai imbalan yang rasional untuk harga tiket yang perlembarnya mencapai besaran gaji pokok seorang karyawan swasta.
Karakter pertama yang harus dipilih tak lain peran Gubernur Icikiwir. Tokoh antagonis itu punya kejiwaan kompleks, punya jalan pikiran tidak mudah, dan bahkan cenderung absurd untuk dapat dimainkan oleh orang biasa-biasa saja. Puluhan orang tumbang bahkan ketika diminta menunjukkan ekspresi tertawa, termenung, berorasi.
Peserta lain warna suara dan intonasinya kurang mengigit, dan tidak mencerminkan akting dahsyat seorang orator andal. Audisi berhari-hari, dan terasa bertele-tele, selebihnya buyar. Hasilnya jeblok. Tinggallah Dul Gendut seorang yang nekat untuk mengikuti tes babak berikutnya. *** (Bersambung)
Sumber Gambar