Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tragis dan Politis, Rp 50 Ribu Dapat Apa?

12 Februari 2020   18:16 Diperbarui: 12 Februari 2020   21:22 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita yang ditulis seorang jurnalis atau pewarta pada hakikatnya merupakan sebuah cerita. Di sana harus lengkap tersusun sebab-akibat, harus ada pelaku dan berbagai unsur berita lain. Terlebih juga harus ada logika yang utuh meski tidak sempurna.

Namun, untuk mendapatkannya tidak mudah, sering harus dengan usaha ekstra. Dan tidak boleh ada opini di sana. Berita merupakan fakta. Sedang opini merupakan bentuk tulisan lain -dari fakta-fakta yang ada- dan disampaikan dengan gaya dan cara yang berbeda pula.

Terkait dengan uang sebesar Rp 50 ribu yang banyak diperbincangan khalayak media massa, maupun warganet medsos, muncul pertanyaan untuk para jurnalis: bisa untuk beli apa uang sebesar itu?

*

Sempat viral sebuah peristiwa perlakuan  yang sangat keji seorang warga Kecamatan Rejoso, Kabupaten Ppasuruan, Jawa Timur, terhadap isterinya. Ia tega menjual isterinya  untuk dijadikan pemuas nafsu beberapa pria lain.

Pelanggannya 4 orang teman si suami bejat. Kejadiannya sejak setahun lalu, dan berulang beberapa kali. Alasannya sudah tak masuk akal.

Kapolres Pasuruan Kota AKBP Donny Alexander, Senin (10/2/2020), mengungkap alasan pelaku berinisal MSS (28) menjual istri kepada temannya. Warga Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan tersebut menjual istrinya yang berinisial F (23) karena motif ekonomi dan ingin mencarikan sensasi seksual bagi isterinya. 

Setiap korban melayani teman tersangka akan mendapatkan imbalan, dengan nominal Rp 50.000. Sumber 1

Apa yang diungkapkan media di atas semata berdasarkan pengakuan MMS, selaku tersangka. Pengakuan itu muncul dari pernyataan Polisi. Belum ada konfirmasi dari pihak F, si isteri, mengenai kebenaran pernyataan tersebut.

Bisa jadi semua pernyataan MSS hanya dalih dan alasan yang dibuat-buatnya sendiri. Sebab, seperti lebih lengkap diwartakan media, karena menolak kemauan suami maka F sempat dipukul suaminya. Hal lain,  MSS selalu merekam adegan mesum isterinya. Bukan tidak mungkin MSS mengidap kelainan seksual.

Dalam kaitan ini agaknya pewarta kurang lengkap dan utuh saat mengejar keterangan dari pihak kepolisian maupun pelaku maupun korban (bila memungkinkan) untuk menghindari pernyataan yang sepihak dan tidak berimbang. 

*

Ada lagi berita lain yang sangat tidak masuk akal, masih terkait dengan penggunaan uang sebesar Rp 50 ribu.

Di Kabupaten Siak, Riau, seorang perempuan bernama Sinde Silitonga (45) menyewa dua pria untuk menghabisi nyawa suaminya, Marison Simaremare. Pembunuh bayaran itu ternyata hanya menerima Rp 50 ribu per orang.

"Awalnya kedua eksekutor mengaku melakukan itu tidak dibayar oleh istri korban. Belakangan hasil pemeriksaan kita mereka mengaku dibayar Rp100 ribu untuk berdua," kata Kasat Reskrim Polres Siak, AKP Faizal Ramdani, Senin (2/9/2019).

Kedua eksekutor yakni, Roberto Manulang dan Linus Harefa mengaku sekadar membantu istri korban. Sedangkan motif Sinde menyuruh orang untuk membunuh Marison karena sakit hati sering dimarahi.  Sumber 2

Besaran rupiah itu jelas tidak masuk akal. Artinya, terlalu kecil. Bukan tidak mungkin Sinde membuat rencana bersama-sama dengan dua orang eksekutornya. Namun, demi melindungi pelaku maka dibuatlah dalih seolah-olah Sinde membayar meski nilainya sangat kecil.

Media tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai besaran nominal Rp 50 ribu itu. Jika memang sebesar itu adanya, alangkah lebih baik jika ada penekanan mengenai jumlah itu dengan keterangan lain. Misalnya, saat itu Sinde tidak punya uang, atau jumlahnya lebih besar tetapi sisanya diutang, atau boleh jadi kedua pelaku pernah punya utang.

Berbagai kemungkinan dapat saja terjadi. Dan itu perlu diungkapkan, meski singkat. Tujuannya agar khalayak pembaca-pendengar-penonton lebih yakin bahwa angka rupiah dalam peristiwa pembunuhan itu fakta.    

*

Uang sebesar Rp 50 ribu selain untuk urusan pelanggaran susila dan upah pembunuh bayaran, ternyata juga menjadi nominal yang biasa dibagi-bagikan kepada setiap peserta demo.

Mungkin karena mereka hanya para siswa, dan datang dari kota yang sama. Itulah pengakuan beberapa pengunjuk rasa di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Sabtu, pada pertengahan September tahun lalu.

Sejumlah remaja di bawah umur 17 tahun terlihat ikut aksi unjuk rasa. Seorang remaja, AR (16), mengaku menerima uang Rp 50 ribu untuk ikut unjuk rasa di depan gedung KPK.  Sumber 3

Sudah menjadi rahasia umum bahwa peserta demo mendapatkan makan-minum dan uang transport ala kadarnya. Namun, karena jumlah peserta demo banyak, bahkan sangat banyak; maka untuk mengaturnya dibagikanlah jatah itu dalam bentuk rupiah.

Besarannya relatif. Mungkin yang terkecil Rp 50 ribu, yang lebih besar Rp 100 ribu, dan untuk koordinator pasti lebih besar lagi.  Bos besarnyapelaksana demo beda lagi. Kesan umum para pendemo mendapat bayaran. Dengan kata lain, mereka menjadi pendemo bayaran.

Namun, jarang yang mau mengakui bahwa mereka memang (ada, sebagian kecil atau besar) menerima bayaran sekadar untuk membeli makan-minum dan pengganti transport. Barangkali sesekali perlu juga para jurnalis berterus-terang mengungkapkan hal sebenarnya.

Akan lebih baik jika mampu mengungkap pula siapa sebenarnya penyandang dananya. Telusuri terus, dan konfirmasi yang bersangkutan agar isi berita lebih lengkap dan  berimbang.  

*

Masih mengenai uang Rp 50 ribu, dan kali ini kaitannya dengan suasana jelang pilpres lalu.  

Adalah Titiek Soeharto dari Partai Berkarya menyoal janji swasembada pangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam kampanyenya di Cilegon, Banten. Selain itu, putri Soeharto tersebut mengulas soal kesenjangan antara kaya dan miskin yang makin lebar.

"Kesenjangan antara si kaya dan si miskin makin lebar. Ibu-ibu punya uang sekarang Rp 50 ribu, ibu-ibu bisa beli apa kalau ke pasar, sementara yang kaya tambah kaya yang miskin tambah miskin," kata dia di hadapan relawan pendukung Prabowo-Sandi di Cilegon, Rabu (14/11/2018). Sumber 4

Tentu akan beda rasanya bila yang bicara bukan dari capres sebelah, bukan anak penguasa tunggal era Orde Baru, dan terlebih bila seorang ahli ekonomi. Apa yang diungkapkan Mbak Titik  mestinya disadari sebagai bagian dari imbas kekuasaan yang cenderung korup pada masa ayahnya berkuasa.

Dan para jurnalis boleh saja merespon dengan membawa cermin besar ke hadapan Mbak Titik sebagai bentuk pernyataan tanpa kata-kata. Mungkin pernyataan tanpa kata-kata para jurnalis terjemahannya begini: "Bercermin dululah, Mbak. Kayaknya ada tetesan darah para korban era Eyang Soe di sudut bibir yang lupa belum diseka. . .!"  

*

Akhirnya,  uang sebenar Rp 50 ribu punya banyak kisah di dalamnya. Dari yang bernuansa mesum, keji, hingga politis. Termasuk tuntutan untuk bercermin pada masa lalu. Para jurnalis dituntut menyajikannya dengan gaya kekinian.

Inflasi memang menjadi penyebab nilai uang terus merosot. Namun, kualitas dan nilai berita-liputan-opini para jusnalis harus kuat dari terjangan "inflasi" itu.

Para jurnalis -dan berbagai sebutan lain- layaknya Insan Pers Nasional dituntut terus mempertinggi kompetensi mereka. Jika tidak, para "jurnalis" media sosial (anpa bermaksud meremehkan, dan apalagi menilai buruk) justru akan makin merajalela. Mereka pun produktif membuat aneka berita, informasi, liputan, laporan, dan opini yang kualitas isi maupun cara penyampaiannya makin kekinian meski tidak sebaik karya para jurnalis sejati.

Selamat merayakan Hari Pers Nasional ke 22 Tahun 2020. Selamat petang. *** Bdg, 12 Februari 2020

Sumber Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun