Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Candaan Pak Rus untuk Cucunya

5 Februari 2020   21:52 Diperbarui: 5 Februari 2020   23:24 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kakek dan cucunya | Sumber Gambar: Pixabay

Pak Rus sudah benar-benar jadi seorang kakek sekarang. Selain di daerahnya mendapat sebutan sebagai Mbah atau Eyang, di provinsi lain ia bisa dipanggil dengan Aki, Engkong, Opa, atau Kakek.

Selama ini penampilan tuanya belum didukung dengan adanya cucu. Jadi masih kakek sebutan saja, belum benar-benar kakek yang bercucu.

Tak heran begitu muncul si cucu yang sudah lama ditunggu, rasa bahagia menyeruak tak terkira-kira. Kini ia bisa sesumbar seperti teman-teman sesama pensiunan, teman reuni, maupun kawan di kompleks perumahan tentang bagaimana senangnya momong cucu.

Ia bisa bercerita membawa si cucu ke Taman Lalu-lintas, mengajaknya ke Kebun Binatang. Atau sekadar berjalan-jalan di taman kota. Tapi ia harus sabar menunggu sampai si bayi cukup gede untuk dibawa ke mana-mana. Selama masih bayi biarlah di rumah saja. Paling-paling berjemur di halaman. Itu pun sudah cukup.

Maka kini Pak Rus banyak tersenyum dan tertawa. Lepas, lincah, dan cerah. Entah sudah berapa lama sebenarnya ia tertekan perasaan setiap kali bertemu teman-teman yang sibuk ngobrol ihwal cucu mereka masing-masing. Soal kenakalan mereka, tingkahnya, kepintaran, dan lainnya.

Pak Rus tidak punya cerita sesuatupun. Maka ia hanya bisa ikut tersenyum, tertawa, dan sesekali nimbrung ikut berkomentar sambil menekan rasa jengkel.

Kini tidak ada alasan lagi untuk merasa tua, loyo, dan sakit-sakitan. Kenapa begitu? Ya, ia punya seorang cucu laki-laki dari anak pertamanya. Nama cucunya Tio. Nama panjangnya Bramantio Kanugrahan. Panggilannya Tio. Supaya terdengar lebih gagah, macho, dan tidak kuno.

Cucu Pak Rus terlahir dengan ciri tubuh bulat, gembul, imut, dan bikin gemas yang melihatnya. Tidak beda jauh dengan bayi-bayi sehat lain pada umumnya sih sebenarnya, tapi di mata Pak Rus sdemuanya serba isimewa. Tio itu super, unggul, luar biasa, dan entah sebutan apa lagi.

Perasaan bahagia seorang kakek yang baru memiliki satu cucu pastilah sperti itu, lucu, bahkan bolehjadi lebih lucu dari si cucu. Semua pengalaman hidup sudah dilakoninya, tetapi punya cucu menjadi hal baru.

Dulu ketika ada orang memanggilnya 'Kakek', ia pernah marah. Sebab ia belum  punya cucu. Dan manakala si cucu lahir hatinya plong, lega, dan riang-gembira sebab terkabul sudah doanya: sukses menjadi seorang kakek!

***

Waktu berjalan terus, dan masa berputar se arah jarum jam. Perasaan Pak Rus dengan statusnya sebagai kakek'pun tidak selalu sama.

Sementara itu Tio tampak semakin lucu. Balita itu terlalu ramah bila diajak ngobrol, selalu menyahuti dengan gumaman apa saja, seperti paham omongan orang dewasa. Tentu saja itu sangat menggemaskan layaknya bayi lain.

Sebaliknya lelaki tua itu merasa sama sekali tidak ada yang lucu. Ia justru tampak semakin kolokan, kekanak-kanakan, dan aneh-aneh. Entah apa penyebabnya. Tapi boleh jadi itu usaha kerasnya untuk mengimbangi kelucuan cucunya.

Kadang Pak Rus berpikir cucunya pastilah suka sekali mentertawakannya. Mengejek, alias mengolok-olok. Ejekannya tak terbendung pasti pada jenggot kelabu panjang, gigi somplak, kulit kisut, sorot mata suram, dan rambut gondrong warna kelabu merata dan keriting begitu rupa.

"Hei Tio, . . . . . , kamu jangan meledek, ya! Masih bayi usil amat, nakal, dan sok tahu. Ingat ya, dulu waktu kakek masih bayi enggak pakai nyinyir seperti kamu, tahu. . . . . . ?!" seru Pak Rus dengan mata dikejap-kejapkan, bibir monyong, berlagak marah.

Namun, tak urung ia menahan geli sendiri. Bayi enam bulan kok diajak ngomong, kalau bukan kakek kenthir ya memang kurang waras. . . hehehe.

Seperti banyak kakek lain, ia iseng saja. Tangan si bayi disangkutkan ke jenggotnya. Lalu bulat wajah si bayi meringis seperti kegelian. Kalau sudah bisa ngomong mungkin ia akan bilang begini: "Kambing tua kok suka ngobrol sendiri, ya?"

Seperti tahu kalau dirinya diomongin buruk, Pak Rus naik darah. "Ehh, apa kamu bilang? Aku kayak kambing tua? Kuwalat. Mau mencandai kakek, ya? Ngaca dulu, kamu kayak anak tikus. . . . . hehe!"

"Hahh? Kambing ketemu anak tikus? Seru, dong?"

"Belum pernah ada dongeng yang mempertemukan mereka. Pasti hebat kalau dibuat buku anak-anak. Judulnya 'Kambing Berkawan Anak Tikus'. Heboh 'kan?"

"Lebih seru dibandingkan dengan obrolan antara kakek jenggotan dengan bayi merah cucunya. Bikin orang-orang tertawa lantaran sama-sama punya gigi ompong dan bicara cadel. . . . hehehh!"

Pak Rus tergelak sendiri kemudian. Hahahaha. . . . . hehehehe. Semua dialog itu hanya ada di dalam benaknya sendiri. Ia bicara seperti sedang bermonolog memerankan dua karakter sekaligus, seorang kakek dengan cucunya. 

*** Bersambung *** 5-2-2020

Simak juga cerpen menarik yang lain:
cerpen mimpi mas burman
cerpen kucing di teras rumah
cerpen berkawan banjir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun