Seperti jomblo kasep lain, Mas Burman mudah bermimpi. Terlelap di kursi pun bermimpi. Mimpinya banyak pula. Kadang mimpi sekadar dipatok ular, hujan-hujanan, atau dikejar anjing. Sesekali mimpi ketemu kutilanak, atau memanjat pohon sangat tinggi, lalu melayang jatuh.
Akhir-akhir ini ia bermimpi aneh, ia berubah menjadi perempuan. Dalam mimpi penampilannya serba terbuka, seksi, dan lemah --gemulai. Busana, rias wajah, dandanan rambut dan lainnya menyiratkan sosok yang cantik dan centil. Aneh ya?
Tentu saja Mas Burman bingung. Ia ingin mencari pendapat orang, tapi siapa? Pagi-pagi ia bertemu dengan Mbak Rafika, seorang tetangga penjual nasi kuning di kios ujung jalan sana. Kebetulan pembeli belum banyak.
"Curhat ya, Mbak. Jangan diobral ke orang lain, ya? Semalam aku bermimpi jadi perempuan. Menurutmu bagaimana, Mbak?" ucap Mas Burman, berbisik.
Mas Burman menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan. Ia pesan sebungkus nasi kuning dengan kerupuk, telur rebus, sambal, dan tempe goreng. Mbak Rafika memandang lelaki di depannya itu dengan wajah heran. "Jadi perempuan? Kamu punya cukup uang untuk operasi plastik?"
"Sssttt! Ini bukan soal punya uang atau tidak, Mak. Ini soal mimpi. . . ."
"Kamu mimpi apa kok aneh-aneh. Jadi apa tadi?"
"Mimpi jadi perempuan! Dasar budeg. . .. , " tegas Mas Burman setengah membentak.
Tak jauh dari situ Mpok Romilah si biang gosip datang menyambangi. Mas Burman harus segera pergi agar tidak diwawancarai perempuan penyebar gossip itu. "Kembalian lima ribu, Mak. Â . !"
"Lunas. Minggu lalu utang lima ribu. . . . . !"
Mas Burman memberengut, dan buru-buru pergi. Berpapasan dengan Mpok Romilah.
"Cepat-cepat amat, Mas. Â Sibuk? Ada proyek baru nih?" komentar Mpok Romilah di seberang pintu, memancing-mancing obrolan.
Mas Burman tidak menjawab sepatah katapun. Terus melangkah, hanya jempol tangan kanan yang diacungkan, sambil berujar sesuatu yang tak jelas.Â
"Kenapa dia, Mak? Kulihat gayanya berjalan lama-lama mirip perempuan. Apa mataku yang salah lihat?" ucap Mpok Romilah sekadar menduga-duga.
Mbak Rafika tertawa lebar. Tapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malah dalam hati kecilnya timbul pertanyaan: Jangan-jangan si Romilah biang gosip ini punya indera pendengaran jarak jauh? Kok ia mampu menguping pembicaranku dengan Mas Burman tadi? Atau jangan-jangan Mpok Romilah memang punya indera ke enam. Wah gawat. Bisa jadi semua gosipnya selama ini memang didasari pada pendengaran yang ekstra tajam?
"Sedang bingung apa, Mbak? Ditanya tidak menjawab, tamu datang tidak ditanya. Senyum-senyum sendiri kayak orang kehilangan akal. Kenapa, Mbak?" Romilah yang suka bicara ceplas-ceplos itu kini mendapati keanehan pada wajah si penjual nasi kuning. "Membayangkan selingkuh dengan Mas Burman, ya?"
***
Mas Burman sudah berjalan jauh. Ia tidak menoleh sekali pun. Namun sesampai tikungan tak tahan juga ia untuk tidak melirik sepintas pada Mpok Romilah dan Mbak Rafika yang sedang asyik ngobrol.
Dua perempuan itu pernah singgah di hatinya. Sayangnya, mereka terlalu jual mahal. Tidak mau dipacari dengan sistem percobaan. Ya. coba-coba dulu satu sampai tiga bulan. Kalau cocok diteruskan, kalau tidak cocok dikembalikan. . . Â ehh, bubaran.
"Kamu naksir Mbak Rafika atau Mpok Romilah? Pilih salah satu, jangan sekaligus dua. Itu namanya serakah. Beri kesempatan orang lain juga. . . .!" ucap Udin Akuarium dengan gaya menggurui
"Orang lain itu siapa?" tanya Mas Burman penasaran.
"Aku! Jangan kaget. Kamu pilih dulu, dan aku rela mendapatkan sisanya. . . .!" sambung Udin yang memiliki tiga toko akuarium. Ia sudah punya tiga isteri, dan mau tambah satu lagi. Rencana itu sejalan dengan perkembangan bisnis akuarium yang makin maju. Modal sudah cukup, ia akan buka satu cabang lagi, cabang keempat, di Jalan Padi-Kapas pinggir kota. Daripada cari-cari pekerja yang upahnya makin tinggi dan tidak mudah dipercaya, kenapa tidak sekalian cari isteri yang mau menunggui toko? Praktis, taktis, dan ekonomis; dalih Udin khusus kepada Mas Burman.
Mas Burman tercengang. Dari dulu ia sangat kagum pada semangat kerja Udin. Belakangan ia pun tahu betapa Udin penuh perhitungan dan kesenangan. Buka cabang baru berarti tambah koleksi isteri. Ide yang gemilang dan cerdas sebenarnya. Kalau ada sembilan cabang apa isterinya numpuk sembilan?
"Heran? Bingung? Itu makanya dari dulu kunasihati kamu, bikinlah usaha yang membutuhkan tenaga kerja wanita. Kamu malah buka bengkel motor. Penampilanmu jadi kucel dan bau oli. Tidak ada perempuan mau mendekat perjaka kucel. Apalagi mau jadi karyawanmu. Nah lihat nasibmu sekarang, isteri satu pun belum kamu dapat. Karena itu tirulah gaya hidupku. . . . . !"Â
"Tidak. Aku tidak mungkin meniru gayamu. Tidak suka. Aku bahkan akan mengubah penampilanku menjadi perempuan. . . .!"
"Serius? Kamu sudah gila kukira!" Â Â
Mas Burman hanya tertawa, lalu pergi begitu saja. *** (Bersambung)
Sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H