Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berkawan Banjir (2)

30 Januari 2020   13:48 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:57 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lumayan, dalam sebulan ke depan kita bisa menghemat anggaran air. Mestinya kita membeli wadah yang lebih banyak, lebih besar, tong-tong plastik, drum, ember, gallon, dan apa saja.. . . .!" ucap isteriku dengan nada sangat gembira. Ia beberapa kali ke halaman, dan mendongak ke langit dengan kedua telapak tangan ditengadahkan.

 "Tunggulah sampai hujan benar-benar turun. Aku khawatir, mereka hanya memberi harapan palsu. Berapa kali kita tertipu candaan mereka. Terlanjur menyiapkan banyak wadah. . . .ehh, urung. Ngeloyor mereka begitu saja tanpa meninggalkan setitik air pun. Kecewa sekali kita 'kan?" jawabku yang membuat senyum di bibir isteri berubah seketika menjadi cemberut. 

Akhir pekan saatnya mengurus rumah. Ada saja kegiatan di sana. Menunggu hujan salah satunya.

Isteriku duduk di bangku kayu depan rumah. Aku berdiri di samping tembok teras. Rumah dinas kami berada di punggung bukit. Pemandangan ke depan hamparan luas bukit dan lembah, di kejauhan beberapa pohon terpencar, disela-selanya kebun dan ladang, selebihnya padang rumput dan perdu meninggi.

Di belakang rumah pemandangan ke laut lepas. Angin berseliweran keras, siang dan malam. Deretan rumah dinas saling berhadapan di situ seperti tempat angin sekadar lalu-lalang. Sesekali saja mereka mau singgah. Dan agaknya begitu pula dengan mendung. Betapapun gumpl-gumpal awan hitam itu terkumpul sangat banyak dan menampakkan kecenderungan segera rubuh, ternyata tidak selalu menurunkan hujan.

"Senang hidup kita sekarang 'kan, Bu?"

"Senang sekali. Hidup damai berkawan sinar matahari. Akrab dengan teman-teman baru, serta alam yang sangat ramah, kecuali satu hal. . . . .  . !"

"Ya, satu hal. . . . !"  

Sambil menunggu hujan turun, isteri menyeduh secangkir kopi manis panas untukku. Ia sendiri membuat air jahe. Ada sisa biskuit di kaleng. Dan kami menikmati siang yang mendung di teras rumah berdua saja. Kami saling mengenang waktu yang sudah jauh lewat. 

*** 

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun