Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berkawan Banjir (2)

30 Januari 2020   13:48 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:57 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penyelamatan warga yang terjebak banjir | kompas.com

Cerita sebelumnya: Punya rumah di kawasan langganan banjir bikin pusing. Itu yang dialami Ben. Isteri Ben ingin segera pindah ke tempat lain yang tanpa banjir. Ben bertanya kepada teman dan bos di kantor.

*

Sesampai di rumah ganti kuceritakan garis-besar jawaban Arfin dan Bu Rosmalin. Inti jawaban keduanya mirip: bertahan. Arfin menyatakan 'bersabar', sedangkan Bu Rosmalin menyatakan 'jangan berpikir kalau pindah ke rumah lain bakal mendapatkan kenyamanan'.

Isteriku tampak tidak marah lagi.  Ia sudah bisa tersenyum. Apapun jalan keluar yang akan kami tempuh memang mengandung resiko dan senang-susahnya masing-masing.

"Ada sekelompok orang yang bertahan hidup di padang tandus, jauh dari mana-mana. Ada pula yang hidup di tengah hutan belantara, tanpa komunikasi dengan orang banyak. Bahkan ada yang hidup di dekat kutub yang amat dingin dan hampir sepanjang tahun diselimuti salju dan es. Karena berbagai alasan mereka sanggup bertahan. Nah, apa sulitnya dikepung banjir sesekali saja dalam sebulan? Sesekali saja, meski kadang sampai berbulan-bulan.. . . .!" ucap isteriku dengan nada satir sebelum aku mengatakan sesuatu yang mendesak di dalam pikiranku.

"Ohh, begitu ya?" sahutku sambil tertawa dengan pahit. Isteriku datar saja wajahnya, tanpa ekspresi dan perasaan sesuatu.  

Jadilah kami coba bertahan. Isteriku mengalah dari pendapat semula. Kami bersikap biasa-biasa saja., normal, tanpa keluh-kesah apapun. Seperti tidak terjadi sesuatu yang perlu dipikirkan benar.

Bersamaan dengan itu aku dan isteriku mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang untung-rugi menjual rumah, kemungkinan pindah rumah, pindah pekerjaan, dan banyak pemikiran lain. Namun, tidak mudah. Padahal keterpaksaan berkawan dengan banjir betapapun lama-kelamaan terasa menyiksa.

Setiap hari, setiap waktu ancaman datang dengan segala kesuliannya. Sekali waktu harus mengungsi. Lain waktu bertahan degan persediaan makanan dan minuman yang ada. Dan sering mengabaikan pekerjaan dan banyak urusan lain semaa untuk meladeni ulah si banjir. Kurang apa kami berakrab-akrab dengan  tabiatnya. Tapi agaknya kami tidak bisa terlalu lama berkawan.   

***

Lima belas tahun kemudian, siang ini, matahari tak sekejap pun menapakkan dirinya. Sejak pagi mendung bergayut di langit di atas kepala seperti hendak rubuh sewaktu-waktu. Kami sudah bersiap dengan aneka wadah, besar-kecil, dari bahan plastik hingga kaleng dan aluminium, berjejer di bawah talang rumah dinas kami.

"Lumayan, dalam sebulan ke depan kita bisa menghemat anggaran air. Mestinya kita membeli wadah yang lebih banyak, lebih besar, tong-tong plastik, drum, ember, gallon, dan apa saja.. . . .!" ucap isteriku dengan nada sangat gembira. Ia beberapa kali ke halaman, dan mendongak ke langit dengan kedua telapak tangan ditengadahkan.

 "Tunggulah sampai hujan benar-benar turun. Aku khawatir, mereka hanya memberi harapan palsu. Berapa kali kita tertipu candaan mereka. Terlanjur menyiapkan banyak wadah. . . .ehh, urung. Ngeloyor mereka begitu saja tanpa meninggalkan setitik air pun. Kecewa sekali kita 'kan?" jawabku yang membuat senyum di bibir isteri berubah seketika menjadi cemberut. 

Akhir pekan saatnya mengurus rumah. Ada saja kegiatan di sana. Menunggu hujan salah satunya.

Isteriku duduk di bangku kayu depan rumah. Aku berdiri di samping tembok teras. Rumah dinas kami berada di punggung bukit. Pemandangan ke depan hamparan luas bukit dan lembah, di kejauhan beberapa pohon terpencar, disela-selanya kebun dan ladang, selebihnya padang rumput dan perdu meninggi.

Di belakang rumah pemandangan ke laut lepas. Angin berseliweran keras, siang dan malam. Deretan rumah dinas saling berhadapan di situ seperti tempat angin sekadar lalu-lalang. Sesekali saja mereka mau singgah. Dan agaknya begitu pula dengan mendung. Betapapun gumpl-gumpal awan hitam itu terkumpul sangat banyak dan menampakkan kecenderungan segera rubuh, ternyata tidak selalu menurunkan hujan.

"Senang hidup kita sekarang 'kan, Bu?"

"Senang sekali. Hidup damai berkawan sinar matahari. Akrab dengan teman-teman baru, serta alam yang sangat ramah, kecuali satu hal. . . . .  . !"

"Ya, satu hal. . . . !"  

Sambil menunggu hujan turun, isteri menyeduh secangkir kopi manis panas untukku. Ia sendiri membuat air jahe. Ada sisa biskuit di kaleng. Dan kami menikmati siang yang mendung di teras rumah berdua saja. Kami saling mengenang waktu yang sudah jauh lewat. 

*** 

(Bersambung)

30 Januari 2020

sumber: Gambar

Tulisan menarik sebelumnya:
cerpen-berkawan-banjir-cerita-untuk-anak-sekolah-karmin

cerpen-pemulung-dan-segayung-air-kran-cerpen-jangan-korupsi-ya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun