Adzan subuh terdengar dari kejauhan. Lik Marsidik bersiap hendak berangkat ke masjid. Berkain sarung, kemeja panjang, dan peci hitam. Tetapi sesampai di teras ia menemukan seekor kucing tergeletak, tertidur nyaman. Mengherankan sekali, biasanya kucing memilih berbaring di atas kursi kayu di teras, atau di atas tumpukan kardus di samping rumah. Hari masih gelap. Lampu teras sudah dimatikannya tadi. Penglihatan Lik Marsidik jadi kurang jelas.
Dengan berjingkat-jingkat ia melewati sisi tubuh kucing. Lik Marsidik mengira satwa rumahan entah milik siapa dan sering singgah di halaman rumah itu sedang tertidur dengan pulasnya.
Sepulang dari masjid, hari sudah terang. Lik Marsidik mendapati si kucing masih meringkuk dengan santainya.
"Lelap amat tidurmu, Pus. Kecapean, ya?" tanya Lik Marsidik seraya mendekat, dan memperhatikan lebih seksama. Seketika ia terkejut, Tubuh kucing itu tampak kaku, tak bernafas. Mati. "Oalah Pus. . . . Pus. Mati saja kok memilih di rumahku. Kamu singgah untuk minta makan, atau sesekali buang kotoran, aku tidak masalah. Tapi mati, kenapa kamu memilih di rumahku?"
Lik Marsidik membayangkan ia harus menyempatkan diri menggali tanah di belakang rumah untuk menguburkan si Pus.
*
Selesai mencuci, mandi dan sarapan roti bakar dioles mentega pagi itu, Lik Marsidik teringatr pekerjaan lain yang sudah menunggu. Mengubur si Pus. Maka ia bergegas ke bawah pohon jambu air di belakang rumah. Lik Marsidik segera menggali lubang. Dalamnya sekitar setengah meter, lebar sekira tiga puluh sentimeter.
"Di sini akhirnya tempatmu beristirahat panjang, Pus. Kalau kelakuanmu baik mungkin kita bisa bertemu di akhirat nanti.. . . . !" ujar Lik Marsidik dengan penuh perasaan. Ia membayangkan dirinya yang hendak dikubur. Dan si penggali kubur mengucapkan kata-kata yang hampir sama. Sedih rasanya.
Cangkul yang ia gunakan sudah rapuh. Gagangnya tidak kukuh lagi. Ketika tenaga cangkulan agak kuat karena tanah yang keras, ujung gagang cangkul pun patah.
"Nasibmu, Pus. Lubang belum cukup dalam, tapi gagang patah. . . .!" ujar Lik Marsidik seraya berdiri tegak dan menggeliat. Ia melihat sekeliling kalau-kalau ada linggis atau cangkul lain tergeletak di emperan.
Lelaki tua itu hendak mengubur di lubang dangkal itu saja. Toh hewan mati sudah dibungkus rapat dengan kantong plastik. Kalau sudah tertutup tanah pasti baunya tidak menyebar ke mana-mana.Â
Saat itu ada tetangga di atas genteng rumah sebelah. Rupanya ia sedang memperbaiki letak antena televisi. Namanya Mas Jumali. Ia melihat dari kejauhan apa yang dilakukan Lik Marsidik. Pikirannya menduga-duga. Dalam otaknya segera tergambar tetangga yang sangat pelit dan lama hidup menduda itu sedang menanam harta karun. Dilihatnya pula gagang cangkulnya patah.
Tak lama kemudian Mas Jumali muncul di balik pagar rumah Lik Marsidik. Ia menenteng sebuah cangkul tua.
"Wah, kebetulan sekali, Mas Jumali, datang. . . !" ujar Lik Marsidik dengan nada gembira.
"Kebetulan? Ohh, saya juga kebetulan sekali. Biasanya pintu rumah selalu tertutup rapat. . . !" ucap Mas Jumali segera melancarkan siasatnya.
"Ya, kebetulan. Cangkul itu. Lik perlu tuh. . . . Â !"
"Oh, tentu saja. Kita 'kan sudah lama bertetangga. Harus tolong-menolong dong. Jangan suka pelit. Nanti hartanya tidak berkah. . . . . hehehe!"
"Sudah. . . . sudah. Tidak perlu ngelantur ke mana-mana. Cangkul itu. . . .!"
"Wah, kebetulan pagi ini beras di rumah habis. Sayur dan lauk tidak punya. Kalau tidak keberatan pinjami saya uang dua puluh ribu saja, Lik. . .!"
Lik Marsidik hendak mengelak. Tapi ia butuh cangkul. Maka dengan wajah suram ia penuhi juga permintaan itu. Dari dompet ia keluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Sedangkan Mas Jumali mengulurkan cangkul yang dibawanya. Tidak ada percakapan lagi kecuali perjanjian. Uang akan dikembalikan kala mengambil cangkul.
*
Dua hari kemudian Bu Padmo datang ke rumah Lik Marsidik. Wajahnya merah, tampak didera marah. Ia berdiri di depan pagar dan berteriak memanggil. Membuka pagar begitu saja, masuk halaman dan berdiri di teras, bersiap melabrak pemilik rumah.
"Kamu pasti yang membunuh kucingku, dan mengubur di belakang rumah, ya? Pakai cangkulku pula.. . . ."
"Cangkul?"
"Ya, cangkul. Cangkul Mas Jumali itu punyaku. Kejam kamu. Apa salah kucingku. Itu kucing kesayangan. Kucing kampung, tapi kesetiaannya padaku sebagai majikannya sangat besar. Aku minta ganti rugi, satu juta. . . .!"
Lik Marsidik merah padam wajahnya. Marah dan malu jadi satu. Ia ingin ganti melabrak perempuan gendut tak tahu diri itu. Tapi tidak. Ia mengucap istigfar beberapa kali, dan tidak menyahut satu katapun. Ia masuk ke dalam rumah, lalu mengambil uang satu juta rupiah. Cepat diserahkannya uang itu beserta cangkul tua yang dipinjamnya, tanpa mempertanyakan utang Mas Jumali. Tanpa sepatah kata pun.
*
Di rumah Mas Jumali tertawa berderai-derai. Siasat busuk dua orang itu berhasil. Bu Padmo memperagakan bagaimana ia  bicara keras dan penuh emosi layaknya pemain watak dalam sinetron. Ia juga meniru sikap Lik Marsidik, wajah dan gerak-gerik tubuhnya yang kaku dan linglung.
Bu Padmo mengakhiri sandiwaranya dengan mengeluarkan sepuluh lembaran uang merah dari balik dasternya. Mas Jumali melihat uang itu, kaget dan tidak percaya. Makin keras saja suara tawanya. Senang, bangga, dan merasa menang. Sampai kemudian Bu Padmo mengamati uang merah itu dengan lebih seksama. Mendelik matanya, mengerjap-ngerjap. Ternganga.
"Ada apa, Bu?"
"Palsu. Ini uang palsu. . . . .!" jerit Bu Padmo kaget, setengah merintih. "Bodohnya. Bukan kita yang ngerjain Lik Marsidik. Sebaliknya kita yang dikerjainnya . . . . !"
Mas Jumali melongo. "Sudahlah pelit, licik pula," gumamnya marah. *** Bdg, 12 Juni 2019 -- 28 Januari 2020
Jangan lewatkan cerpen lain sebelumnya:
cerita-untuk-anak-sekolah-karmin
cerpen-pemulung-dan-segayung-air-kran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H