"Kamu pasti yang membunuh kucingku, dan mengubur di belakang rumah, ya? Pakai cangkulku pula.. . . ."
"Cangkul?"
"Ya, cangkul. Cangkul Mas Jumali itu punyaku. Kejam kamu. Apa salah kucingku. Itu kucing kesayangan. Kucing kampung, tapi kesetiaannya padaku sebagai majikannya sangat besar. Aku minta ganti rugi, satu juta. . . .!"
Lik Marsidik merah padam wajahnya. Marah dan malu jadi satu. Ia ingin ganti melabrak perempuan gendut tak tahu diri itu. Tapi tidak. Ia mengucap istigfar beberapa kali, dan tidak menyahut satu katapun. Ia masuk ke dalam rumah, lalu mengambil uang satu juta rupiah. Cepat diserahkannya uang itu beserta cangkul tua yang dipinjamnya, tanpa mempertanyakan utang Mas Jumali. Tanpa sepatah kata pun.
*
Di rumah Mas Jumali tertawa berderai-derai. Siasat busuk dua orang itu berhasil. Bu Padmo memperagakan bagaimana ia  bicara keras dan penuh emosi layaknya pemain watak dalam sinetron. Ia juga meniru sikap Lik Marsidik, wajah dan gerak-gerik tubuhnya yang kaku dan linglung.
Bu Padmo mengakhiri sandiwaranya dengan mengeluarkan sepuluh lembaran uang merah dari balik dasternya. Mas Jumali melihat uang itu, kaget dan tidak percaya. Makin keras saja suara tawanya. Senang, bangga, dan merasa menang. Sampai kemudian Bu Padmo mengamati uang merah itu dengan lebih seksama. Mendelik matanya, mengerjap-ngerjap. Ternganga.
"Ada apa, Bu?"
"Palsu. Ini uang palsu. . . . .!" jerit Bu Padmo kaget, setengah merintih. "Bodohnya. Bukan kita yang ngerjain Lik Marsidik. Sebaliknya kita yang dikerjainnya . . . . !"
Mas Jumali melongo. "Sudahlah pelit, licik pula," gumamnya marah. *** Bdg, 12 Juni 2019 -- 28 Januari 2020