"Harus berani berkeringat dan kehujanan. . . ." tambah anak si tukang parkir.
"Harus berani berkeringat dan dikejar-kejar petugas. . . . !" sahut si panjaja asongan.
Anak-anak lain menyahut menurut pikiran dan kemauan masing-masing. Bebas, tidak ada yang salah. Suasana jadi ramai, meriah. Abah Sabar berhasil memancing perhatian dan kemampuan tiap anak untuk bersuara. Dalam penilaian sendiri, semakin gaduh suasana kelas semakin baiklah caranya mengajar.
"Hhahaha. . . .sudah, sudah. Biar Abah meneruskan bicara."
 "Bicara, Abah. Jangan cuma diam. . . . . hahaha!" teriak si kuli angkut bersemangat.
Murid dan guru sekolah kolong jembatan itu pun tertawa spontan. Kompak, dan keras suaranya bersaing dengan bunyi klakson, deru knalpot motor, dan bising mesin mobil yang melintas di atas kepala mereka.
"Nah, kalian dengarkan. Dulu sewaktu muda, Abah bekerja keras sebagai petani. Lalu menjadi tukang bangunan, dan terakhir menjadi sopir truk. Namun karena tidak jujur, nasib Abah tidak pernah berubah. Abah menyesal, kemudian bertobat. Kini Abah  menasihati kalian:  jangan ikuti jejak Abah. Curang itu buruk, curang itu nista. Berlakulah jujur sejak dari hati . . . . .!"
Hanya dua puluh menit pelajaran hari itu. Guru lain berhalangan. Jadi boleh bubar.
*
Kalau empat guru datang biasanya tidak lebih dari satu setengah jam sekolah berlangsung. Singkat, padat, dan bermanfaat. Tetapi pelajaran sesungguhnya di sekolah itu tak lain mempraktikkan pesan para guru. Kali ini pesan Abah Sabar yaitu menjadi anak yang jujur. Â
Sekolah bagi mereka hanya sambilan. Pekerjaan utama mereka pemulung. Tiap hari mengumpulkan botol-botol minuman bekas, kaleng, kardus, dan rongsok lain.