Di perempatan jalan, di seberang jembatan sana, Yu Sawiji dan Rusmina melihat di kejauhan sebuah warung nasi. Cukup ramai pembelinya. Setengah berlari keduanya ke sana.
"Apa yang diucapkan Pak Hamid tadi mungkin benar. . . !" ucap Yu Sawiji dengan wajah diliputi kegembiraan karena mendapatkan uang dengan gampang.
"Bapak tadi bilang apa, Mak? Aku tidak mendengar!" sahut Rusmina.
"Dia bilang, Mak seperti bocah perempuan 2 tahun yang dibawa lari isteri muda bosnya. Ia hafal wajah emak. Dulu ia bekerja sebagai sopir pribadi. Peristiwanya sekitar 20 tahun silam. Mungkin ia hanya ngarang saja. Membuat-buat cerita khayal dengan maksud lain. . . . . .!" ujar Yu Sawiji dengan nada was-was.
"Emak tidak tanya lebih lanjut? Siapa tahu cerita itu benar. Nasib kita bisa berubah, tidak seburuk sekarang. . .. . "
"Kamu pinter. Tapi terlalu mudah percaya orang yang baru dikenal. Zaman sekarang setiap orang harus waspada. Penipu ada di mana-mana. . . . . !"
"Tapi kita 'kan hanya pemulung. Tanpa harta. Apa untungnya menipu kita?"
Yu Sawiji tersenyum. "Harta mungkin tidak, tapi organ tubuh?"
"Organ tubuh, apa itu mak?"
"Apa saja yang ada di tubuh kita. Bola mata, ginjal, hati, kulit, dan entah apa lagi.. . . Â !" gumam Yu Sawiji menjelaskan. Meski tak lulus SD ia sangat suka membaca. Koran-koran bekas dibacanya dengan rakus.
"Begitu ya?"