Pak Hamid tertawa puas. Namun tiba-tiba ia ingat sesuatu. "Tunggu sebentar. Biar kulihat kamu lebih jelas.. . . ."
"Ada apa, Pak?"
"Oh, begini. Dulu aku pernah bekerja pada seorang bos pengusaha sepatu. Ia punya isteri muda yang kabur, isteri tua mengusirnya.. . .!"
"Kalau itu cerita sedih, Pak, saya sudah punya banyak. tidak perlu ditambah-tambahi lagi. Nah, Â izinkan saya meneruskan langkah saya, Pak!"
"Tunggu sebentar. Dengarkan. Isteri muda bos pengusaha itu membawa anak perempuan si Bos yang berumur dua tahun. Anak dari isteri tua. Bocah perempuan itu mirip boneka, wajah bulat, rambut keriting, badan kurus, dan kulit putih. Kubayangkan bila ia tumbuh dewasa wajahnya bakal mirip sekali dengan kamu!"
"Saya hanya pemulung. Hidup di jalanan. Mana ada kemiripan dengan anak Bos. . .!"
"Aku ingat betul, meski hampir dua puluh tahun peristiwa itu telah berlalu. Waktu itu aku bekerja sebagai sopir pribadi keluarga bos . . . .!" (Bersambung)
Simak bacaan sebelumnya:
cerpen-pemulung-dan-segayung-air-kran
alhamdulillah-ternyata-mall-masih-tutup