Dengan tergesa Yu Sawiji mengembalikan gayung di kamar mandi mushola. Lalu dengan berjalan menunduk-nunduk ia mengucapkan terimakasih.
"Sudah saya kembalikan, Pak Haji. Terima kasih air kran dan gayungnya. Pak Haji baik hati sekali. Semoga Allah yang membalas kebaikan Pak Haji. Saya dan anak saya pamit. Minta maaf kalau sikap saya salah. Sudah hilang haus kami. Permisi. Assalamu 'alaikum. . . !"
Lelaki itu tertegun. Matanya yang sempat nyalang tadi dikedip-kedipkan. Ia sadar belakangan barangkali saja perempuan pemulung itu menganggapnya sedang curiga dan mengawasi. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Ia hanya tertegun, terhenyak. Ingatannya melayang jauh. Ia seperti melihat sosok mungil yang dulu pernah sangat disayanginya. Sosok mungil pada masa lalu.
"Oh, maaf, Nak. Jangan salah sangka. Aku bukan pak haji, dan aku bukan sedang mengawasimu. Aku tamu dari luar kota yang kebetulan singgah di kota ini . . . .!"
"Apa Pak Haji tahu isi hati saya?"
"Jangan panggil aku Pak Haji. Aku Pak Hamid, belum haji. Namun insya Allah nanti entah kapan bakal berangkat haji. Aku kaget melihat wajahmu. Aku menduga-duga saja.. . Â .!"
Pak Hamid mengeluarkan dompet. Lalu dua uang merah diangsurkannya pada Yu Sawiji.
 "Ini sedekahku. Belilah sesuatu agar bukan hanya haus yang hilang, tetapi juga lapar dan lelah kalian. . . !"
 "Maaf, kami bukan pengemis, Pak Hamid. Kami, anak dan emak pemulung. . . . !"
Pak Hamid berpikir beberapa saat. Lalu tersenyum, ia menemukan ide bagus. Tersenyum beberapa saat, mengangguk-angguk, baru menjawab. "Kalau begitu kubeli rongsokmu itu dengan uang ini. Ambillah uangnya. Belilah minuman dan makanan yang kalian suka. Dan kuberikan rongsoknya untuk kamu bawa. . . .!"
Yu Sawiji paham kelicikan Pak Hamid. Tapi ia senang saja, karena cara itu lebih baik. "Terima kasih kalau begitu. Saya terima, Pak. Ini jual beli yang adil. Dan saya terima pemberian rongsok yang tadi Pak Hamid beli. Semoga Allah memberi balasan yang banyak atas kebaikan bapak." gumam Yu Sawiji dengan genang air mata di pelupuk.