Sejak kenal dengan Pak TS (pertengahan 2016) saya terpacu membuat 2 buku fiksi secara indie, dan sekitar 15 buku keroyokan. Hal itu merupakan sesuatu yang tak terbayangkan sebelum saya menulis di medsos, khususnya di Komasiana, dan kemduian akrab dengan Pak TS. Buku menjadi salah satu bentuk kenangan pribadi yang (insya Allah) abadi.
*
Pengalaman di atas membuat saya berpikir: mengapa kita (para penulis khususnya) tidak membuat biografi singkat keluarga sendiri, teman-teman, kenalan dan tetangga? Singkat-singkat saja, pendek, langsung pada ini persoalan serta hal-hal penting yang ingin "disyiarkan".
Mungkin tentang kejujuran, hidup hemat dan sederhana, sembuh dari suatu penyakit, bertahan sebagai pedagang asongan, pilih "resign" daripada koruptif, dan banyak lagi hal-hal kecil di sekitar kita yang besar kemungkinan belum terungkap media mainstream. Sementara itu ruang-waktu pada media sosial masih terlalu luas untuk disisipi biografi siapapun asal mampu menyajikannya dengan baik.
Bila mereka (termasuk saya dan Anda) berpulang suatu ketika nanti, ada kenangan yang secara khusus sudah dibuat, dicatat, lengkap, tulisan dan foto-foto, serta terdokumentasikan dengan memadai.
*
Terkait dengan tulis-menulis dan esensinya, Pak TS beberapa kali menyitir  ungkapan seorang pengarang terkenal, Pramoedya Ananta Toer. Saat itu ada tugas wawancara dengan Pak Pram di rumahnya, di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur. "Karena kita ini bukan siapa-siapa, maka menulislah, agar tak dilupakan zaman."  Â
Ya, menulislah, agar abadi. Menjadi kenangan abadi. ***Â
Cibaduyut-Sekemirung, 9 - 13 Januari 2020
Bacaan sebelumnya:
sosok-jeihan-ambang-waras-dan-sepintas-perjumpaan
menulis-dan-membukukan-kenangan-untuk-pak-ts
cerpen-pemulung-dan-segayung-air-kran