Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Kado Terindah) Menunggu Kado Suami

13 Oktober 2019   20:47 Diperbarui: 13 Oktober 2019   21:03 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kalung gelang batu emas putih (www.needpix.com)

Duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, Karin menunggu kepulangan suaminya. Kebetulan Mamanya datang dari luar kota sejak pagi. Karin senang, tapi bila mengingat suami selalu ada perasaan penuh harap, ada was-was, dan terbersit pula selintas rasa takut.

Jam lima lewat tiga puluh menit sore biasanya. Tidak lebih, tidak kurang. Ia hafal sekali kebiasaan itu. Sebab sudah hampir dua tahun ia menjadi isteri Bang Barmin. Dan kebiasaannya tidak berubah. Bang Barmin tepat dan teliti dalam hal waktu; tetapi sayang ia tidak dapat diandalkan dalam menjaga ucapan. Janjinya hampir selalu meleset.

Karin kerap protes, tetapi justru Mamanya mendukung apa saja tindakan dan pemikiran Bang Barmin.

"Begitu banyak hal yang mestinya membuatmu bangga punya suami Bang Barmin, Karin. Tapi kamu terus ribut seputar keharusan pulang tepat waktu dan janji yang meleset!" ujar Mama seperti setiap kali. Meski tanpa berkata, tanpa ekspresi apapun. Mama tanggap apa yang dipikirkan anak bungsunya itu.

"Banyak hal? Karin rasa tidak banyak. Bahkan tidak ada sama sekali," bantah Karin dengan perasaan kurang senang.

Mama tertawa saja. Ia maklum, harus perlahan-lahan memberi pengertian kepada si bungsu. Karin memang keras kepala. Tidak mudah diatur-atur.

"Kenapa Mama tertawa?"

"Lucu, tapi memprihatinkan. Putri bungsu Mama ini terlalu keras kepala. Akibatnya, tidak mudah melihat kebaikan kalau tidak dari hatinya sendiri. . . .!" ucap Mama sambil berjalan ke luar rumah.

Pada saat itu Bang Barmin datang mengendarai sepeda motor maticnya. Seperti biasa wajahnya cerah. Tidak menampakkan kelelahan, gerah, atau sikap canggung.

"Maaf, Abang terlambat.. . . .!" ujar Bang Barmin.

Di depan pintu, Karin tak membalas senyum suaminya. Agak ketus ia menyahut: "Sepuluh menit. Terlambat sepuluh menit."

Bang Barmin tidak mengubah sikap. Masih tetap ramah, dan cepat mendatangi isterinya itu, lalu memeluk dengan penuh sayang. "Maaf, Karin. Agak lama aku mencari kado seperti permintaanmu. Tapi akhirnya kudapat juga. Hanya dua puluh gram. Meski mungkin tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Aku sudah berusaha, sangat keras, dan untuk itu aku terlambat. . . . . !"

Karin tidak punya rasa penasaran apapun atas kado yang dibawa suaminya. Sejak berpacaran hingga naik ke pelaminan, tidak satu pun kado yang diterimanya cukup baik dan berharga untuk dibanggakan. Selalu saja barang murahan yang dibawa. Sudahlah murah, tidak ada gunanya pula.

*

Kado sudah diserahkan. Mama tertawa lebar, dan baru kali ini ia senang melihat putri bungsunya tampak puas dengan kado yang dibawa suaminya. Mama tidak ingin tahu apa, tapi ia yakin kali ini harganya mahal, dan modelnya mutakhir.

Seminggu kemudian Bang Barmin mengirim pesan melalui WA kepada mertuanya. Isinya pendek saja. "Betapa bangga setiap suami yang mampu membahagiakan isteri dengan kado yang baik. Begitu juga pemikiran saya. Tapi harga kado terakhir itu senilai uang muka untuk sebelah ginjal saya. Tiga hari lagi saya harus dioperasi untuk pemindahan sebelah ginjal. Bila setelah itu saya tidak mampu lagi bekerja maksimal sebagai pengojek online, saya titip Karin dan anak-anak. Terima kasih, Mama selama ini telah mendukung saya.  Sayang, agaknya Karin tak cukup percaya bahwa saya sangat mencintainya.. . . .!"

Itulah batas akhir kesabaran Mama. Keesokan harinya ia datangi Karin dengan wajah dan penampilan galak. Tanpa memberitahu apa penyebab kemarahannya, ia melabrak anaknya itu.

Tidak,  tidak ada kata-kata kemarahan. Ia justru berbisik lirih, disertai isak-tangis yang tak terbendung. "Kalau saja kita diizinkan menyembah selain Allah, maka pertama-tama suami yang harus kita sembah. Dengan sikapmu selama ini kepada Bang Barmin, apa kamu belum pernah mendengar ungkapan itu?"

Karin tak segera menjawab. Pandangannnya menerawang jauh, sangat jauh, dan tiba-tiba tubuhnya mengigil. Tangisnya tumpah. Agaknya Bang Barmin sudah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, pengorbanannya demi isteri.

Dan petang itu Karin menunggu dengan sendu. Ia duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, seperti biasanya, menunggu kepulangan suaminya. Ada perasaan penuh harap, ada was-was, dan terbersit pula selintas rasa takut. Jangan-jangan suaminya tidak pulang. . . .!

*

Baru lewat tengah malam suara knalpot motor matic Bang Barmin terdengar memasuki halaman rumah. Karin sampai tertidur-tidur di sofa karena letih menunggu. Di situ ada juga Mama dan Papanya, menunggu dengan perasaan tak menentu. Kontak telepon tidak diangkat, usaha mencari informasi dari teman-teman kerja tidak ada yang tahu. Bahkan telepon ke kantor polisi, kalau-kalau terjadi suatu tindak kejahatan atau kecelakaan yang menimpa lelaki kurus dan berkumis lebat itu, nihil.

Bang Barmin melangkah ke teras, menunggu sampai pintu depan dibukakan. Suasana kaku, hening. Beberpa saat saling diam. Namun, seketika lelaki itu mendatangi isterinya. Karin, dengan perut buncit menyambut pelukan suaminya. Dengan tangis tertahan-tahan.

"Maafkan sikapku selama ini, Bang. Aku baru menyadari, aku bukan isteri yang baik. Tapi ke depan aku akan belajar sungguh-sungguh mencintai dan mempercayai Abang. . . .  !"

Tak dapat pula Bang Barmin menahan air mata. "Justru Abang yang harus minta maaf, Karin. Pekerjaan Abang tidak seperti yang kamu harapkan. Dua tahun Abang sembunyikan, akhirnya harus terkuak juga topeng  Abang. . . . . !"

Mama terharu atas peristiwa itu. Tapi ia senang tampaknya Karin ingin berubah.

*

Di halaman, ketika hendak masuk ke dalam mobil, Mama berbisik kepada Bang Barmin.

"Anggaplah besok pagi Abang berulang tahun. Mama hendak memberi kado istimewa, sebuah ginjal.. . . .!"

"Kado? Ginjal?" desis Bang Barmin kebingungan.

"Ya, kado. Untuk Abang. . . .!" tambah Papa. "Besok pagi kami hendak mengambil uang di bank pengganti seberapapun harga ginjalmu itu. Kembalikan uang yang pernah Abang terima sesegera mungkin kepada si pemesan. Karin sudah menyadari kekeliruannya. Kami pun mendapatkan bukti, Abang suami tangguh, penuh bertanggungjawab, apapun yang terjadi. . . .!"

Bang Barmin hampir-hampir tak percaya pada kenyataan itu. Namun, ia bernafas lega. Sejak malam itu ia merasa sebagai suami yang sangat dibanggakan isteri, suami penuh tanggungjawab, suami yang mempertaruhkan apa saja demi keluarga. Tidak rapuh, dan tidak cepat patah meski seperti dipermainkan oleh isteri dari keluarga kaya raya itu. *** Bandung, 13 Oktober 2019

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun