Bang Barmin melangkah ke teras, menunggu sampai pintu depan dibukakan. Suasana kaku, hening. Beberpa saat saling diam. Namun, seketika lelaki itu mendatangi isterinya. Karin, dengan perut buncit menyambut pelukan suaminya. Dengan tangis tertahan-tahan.
"Maafkan sikapku selama ini, Bang. Aku baru menyadari, aku bukan isteri yang baik. Tapi ke depan aku akan belajar sungguh-sungguh mencintai dan mempercayai Abang. . . . Â !"
Tak dapat pula Bang Barmin menahan air mata. "Justru Abang yang harus minta maaf, Karin. Pekerjaan Abang tidak seperti yang kamu harapkan. Dua tahun Abang sembunyikan, akhirnya harus terkuak juga topeng  Abang. . . . . !"
Mama terharu atas peristiwa itu. Tapi ia senang tampaknya Karin ingin berubah.
*
Di halaman, ketika hendak masuk ke dalam mobil, Mama berbisik kepada Bang Barmin.
"Anggaplah besok pagi Abang berulang tahun. Mama hendak memberi kado istimewa, sebuah ginjal.. . . .!"
"Kado? Ginjal?" desis Bang Barmin kebingungan.
"Ya, kado. Untuk Abang. . . .!" tambah Papa. "Besok pagi kami hendak mengambil uang di bank pengganti seberapapun harga ginjalmu itu. Kembalikan uang yang pernah Abang terima sesegera mungkin kepada si pemesan. Karin sudah menyadari kekeliruannya. Kami pun mendapatkan bukti, Abang suami tangguh, penuh bertanggungjawab, apapun yang terjadi. . . .!"
Bang Barmin hampir-hampir tak percaya pada kenyataan itu. Namun, ia bernafas lega. Sejak malam itu ia merasa sebagai suami yang sangat dibanggakan isteri, suami penuh tanggungjawab, suami yang mempertaruhkan apa saja demi keluarga. Tidak rapuh, dan tidak cepat patah meski seperti dipermainkan oleh isteri dari keluarga kaya raya itu. *** Bandung, 13 Oktober 2019