Bang Barmin tidak mengubah sikap. Masih tetap ramah, dan cepat mendatangi isterinya itu, lalu memeluk dengan penuh sayang. "Maaf, Karin. Agak lama aku mencari kado seperti permintaanmu. Tapi akhirnya kudapat juga. Hanya dua puluh gram. Meski mungkin tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Aku sudah berusaha, sangat keras, dan untuk itu aku terlambat. . . . . !"
Karin tidak punya rasa penasaran apapun atas kado yang dibawa suaminya. Sejak berpacaran hingga naik ke pelaminan, tidak satu pun kado yang diterimanya cukup baik dan berharga untuk dibanggakan. Selalu saja barang murahan yang dibawa. Sudahlah murah, tidak ada gunanya pula.
*
Kado sudah diserahkan. Mama tertawa lebar, dan baru kali ini ia senang melihat putri bungsunya tampak puas dengan kado yang dibawa suaminya. Mama tidak ingin tahu apa, tapi ia yakin kali ini harganya mahal, dan modelnya mutakhir.
Seminggu kemudian Bang Barmin mengirim pesan melalui WA kepada mertuanya. Isinya pendek saja. "Betapa bangga setiap suami yang mampu membahagiakan isteri dengan kado yang baik. Begitu juga pemikiran saya. Tapi harga kado terakhir itu senilai uang muka untuk sebelah ginjal saya. Tiga hari lagi saya harus dioperasi untuk pemindahan sebelah ginjal. Bila setelah itu saya tidak mampu lagi bekerja maksimal sebagai pengojek online, saya titip Karin dan anak-anak. Terima kasih, Mama selama ini telah mendukung saya. Â Sayang, agaknya Karin tak cukup percaya bahwa saya sangat mencintainya.. . . .!"
Itulah batas akhir kesabaran Mama. Keesokan harinya ia datangi Karin dengan wajah dan penampilan galak. Tanpa memberitahu apa penyebab kemarahannya, ia melabrak anaknya itu.
Tidak, Â tidak ada kata-kata kemarahan. Ia justru berbisik lirih, disertai isak-tangis yang tak terbendung. "Kalau saja kita diizinkan menyembah selain Allah, maka pertama-tama suami yang harus kita sembah. Dengan sikapmu selama ini kepada Bang Barmin, apa kamu belum pernah mendengar ungkapan itu?"
Karin tak segera menjawab. Pandangannnya menerawang jauh, sangat jauh, dan tiba-tiba tubuhnya mengigil. Tangisnya tumpah. Agaknya Bang Barmin sudah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, pengorbanannya demi isteri.
Dan petang itu Karin menunggu dengan sendu. Ia duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, seperti biasanya, menunggu kepulangan suaminya. Ada perasaan penuh harap, ada was-was, dan terbersit pula selintas rasa takut. Jangan-jangan suaminya tidak pulang. . . .!
*
Baru lewat tengah malam suara knalpot motor matic Bang Barmin terdengar memasuki halaman rumah. Karin sampai tertidur-tidur di sofa karena letih menunggu. Di situ ada juga Mama dan Papanya, menunggu dengan perasaan tak menentu. Kontak telepon tidak diangkat, usaha mencari informasi dari teman-teman kerja tidak ada yang tahu. Bahkan telepon ke kantor polisi, kalau-kalau terjadi suatu tindak kejahatan atau kecelakaan yang menimpa lelaki kurus dan berkumis lebat itu, nihil.