Tahun 1440 Hijriah ini umat Islam bersyukur karena tidak ada perbedaan awal puasa, dan insya Allah tidak beda pula penentuan 1 Syawal-nya, atau hari raya Idul Fitri. Selama ini beda tanggal mulai Ramadan maupun Idul Fitri selalu dibesar-besarkan oleh media. Tentu hal demikian sangat tidak baik, dan tidak mendukung program pesatuan dan kesatuan mapun ketahanan bangsa. Hal terakhir ini juga berarti membuka diri terhadap pengaruh budaya negeri lain, sehingga berpotensi menggerus keindonesiaan yang selam ini diperjuangkan oleh par parahlawan an para pendahulu negeri ini.
Jauhi yang Merusak
Terorisme, betapapun bernuansa Islam, sebenarnya bukanlah pandangan umum umat Islam secara keseluruhan. Segenap warga bangsa pun mengutuk tindak kejahatan lintas negara itu. Namun, terorisme kemudian mendapat kawan seiring, yaitu sikap-pemikiran dan perilaku radikal dengan landasan agama. Seolah-olah apapun yang berbeda harus dibasmi, Â dimusnahkan.
Teroris dapat berada di mana-mana, menyusup dan bersembunyi sebelum memperlihatkan aksi kejamnya. Aksi kejam itu tampak antara lain dalam rusuh 21-22 Mei 2019 pada beberapa wilayah di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pemikiran sikap terorisme agaknya mudah juga menyusup pada orang-orang yang memiliki penyakit hati (isi, dengki, benci, dan dendam) sehingga membenci apa saja yang ingin mereka benci, bahkan pada diri sendiri. Karena benci pada diri sendiri yang sedemikian besar (menurut ukuran umum) maka ada sejumlah orang bunuh diri semata untuk mebunuh orang lain.
Hal-hal yang tidak Pantas
Ramadan itu bulan suci, tetapi perbuatan umat yang menjalaninya tidak selalu selaras dengan ketentuan agama yang ada. Pada acara 'sahur on the road' misalnya, dimanfaatkan para pelakunya untuk kebut-kebutan dan bahkan tawuran sehingga membawa korban luka/jiwa beberapa kali terjadi.
Sementara itu ada beberapa tayangan variety show bertema Ramadan yang isinya tidak mencerminkan keislaman (joget-joget, dialog menyerempet mesum). Hal itu membuat MUI dan KPI sepakat tahun depan berupaya meniadakan acara serupa. Â
Meraih Aneka Kecerdasan
Ibadah puasa seharusnya berakhir dengan pencerminan semua sifat Allahkecuali sifat Ketuhanan-Nyadalam kepribadian seseorang. Karena berpuasa merupakan upaya meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia sebagai makhluk.
Quraish Shihab menyebut, "Dengan upaya meneladani sifat-sifat Tuhan, seorang yang berpuasa melatih dan mendidik dirinya untuk meraih aneka kecerdasan, melalui potensi--potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia adalah kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional." www.liputan6.com