Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Menanti Idul Fitri

24 Mei 2019   00:00 Diperbarui: 24 Mei 2019   01:12 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perempuan tua di balik jendela

Perempuan tua itu terduduk di balik jendela yang terbuka. Wajahnya datar dengan tatapan kosong. Angin basah dari bukit bertiup lembut, terasa seperti mengelus kulit dan rambutnya yang mulai merata keperakan. Pikirannya berjalan-jalan entah ke mana. Bila tersadar telah melamun, ia segera kembali melihat ke luar jendela.

Di bawah sana aliran sungai dengan air jernih gemericik diantara batu-batu. Di bantaran kiri-kanan sungai rerumpatan rapi terawat serta beberapa tanaman petani yang memanfaatkan musim kemarau untuk berkebun sayur-mayur.

"Tinggal saja di sini, Mak. Supaya pikiranmu tenang dan jernih. Hatimu pasti cepat kembali bening seperti aliran air di bawah sana itu. . . .!"

"Tinggal di sini? Pindah?"

"Ya. Di sini tenang, nyaman.. . .!"

"Begitu menurutmu?"

"Dengan selalu melihat dan mengamati aliran air diantara batu-batu rasaku Emak tidak akan memikirkan hal lain yang memberatkan hati. Dunia Emak yang rumit dan membingungkan selama ini akan perlahan hilang untuk berganti dengan ketenangan dan kesenangan. . . !" ucap Pak Sulamun dengan suara jernih dan rendah pada suatu hari dulu, mungkin lima atau enam tahun silam.

Mak Fitri memandangi suaminya dengan mata nanar, mata bertanya-tanya. Ia tidak membantah atau mengiyakan. Apa saja yang diucapkan suaminya masih berupa harapan, dan setiap harapan senantiasa baik dan menyenangkan. Entah nanti bagaimana kenyataannya.

"Ini rumah siapa, dan mengapa harus di sini?" akhirnya Mak Fitri bertanya. Lirih, dan seperti tanpa sengaja pertanyaan itu terlontar.

Pak Sulamun tidak segera menjawab. Mungkin jawabannya sulit, atau memang tidak perlu dijawab. Ia pikir toh lambat-laun nanti isterinya bakal tahu sendiri.

"Aku sengaja pesan ruangan yang ada jendelanya. Ada pemandangan ke luar yang indah. Ya, ruangan ini. . . !"

"Ruangan ini?"

"Ya. Bila sore, matahari akan menyorot dari balik hutan dan bukit di sebelah sana.  Rasanya inilah pemandangan yang sangat baik untuk mengiringi doa-doa Emak agar kerumitan pikiran maupun penyakit hati dan kendala badan apapun dapat segera disembuhkan. Tuhan pemberi penyakit, dan Tuhan juga yang akan menyembuhkannya. Bukan dokter dan perawat, bukan dengan obat, operasi, bedah, atau yang lainnya. Tuhan saja sendiri yang akan menyembuhkan apapun dan bagaimanapun caranya. .  !"

"Ya, tapi ini rumah siapa? Kenapa kamu bisa memesannya? Kamu beli, menyewa, atau sekadar numpang?"

Pertanyaan itu tidak pernah terjawab sampai kini. Lima sampai enam tahun telah berlalu. Terasa singkat sekali. Namun jawaban tidak pernah muncul. Bahkan Pak Sulamun --suaminya- hanya setahun sekali muncul dan membujuk, memberi harapan, dan menasihati dengan kata-kata yang hampir sama.

"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat lagi dengan anak-anakku, dengan cucu-cucuku. Bahkan kamu tidak setiap hari menemaniku? Bukankah kamu suamiku? Suami macam apa ini, yang begitu tega meninggalkan isteri seorang diri di tempat yang terpencil, jauh dari manapun, dan bahkan terkungkung di kamar sempit seperti orang terpenjara begini?" Mak Fitri pernah suatu hari mempertanyakan hal itu.

Tapi pertanyaan itu tidak didengarkan oleh siapapun. Suaminya tidak ada di situ. Yang ada hanya tembok sekeliling, jendela dengan teralis besi. Toilet duduk di sudut yang dihalangi rak buku pendek dengan buku-buku tua yang sudah sangat dihafal isinya, wastafel di sebelahnya, kertas tisu, meja dan kursi kayu di sebelah jendela, serta dipan kayu dengan kasur kapuk tipis dan sprei biru muda dengan motif kembang-kembang warna-warni kusam.

Ada satu lagi benda yang didapatkannya dengan sangat sulit, sebuah pisau dapur yang masih baru dan tajam. Pernah suatu hari penghuni kamar-kamar sempit yang berderet itu berolahraga bersama. Saat pengawas lena Mak Fitri menyelinap ke dapur umum, dan mendapatkannya. Dengan sangat rapi ia sembunyikan benda itu di balik baju. Dan dengan barang tajam itu ia punya banyak rencana. Ya, ia punya rencana hal-hal yang sangat menyenangkan.

Tapi bukan sekarang. Entah kalau nanti.

Kini Ramadan sudah sampai pada sepuluh hri kedua. Sebentar lagi Lebaran. Ean itu artinya suaminya, Pak Salamun akan datang. Bila beruntuk mereka akan membawa anak-anak, manu, dan para cucu.

Alangkah senangnya mendapat kunjungan begitu. Meski setahun sekali saja. Setiap orang menanti hari raya Idul Fitri. Itu waktu yang tepat untuk saling memaafkan. Dan pada waktu itu Mak Fitri harus berpikir keras, siapa yang harus lebih dulu meminta maaf. 

Suaminya yang sibuk bekerja hingga lupa pulang, atau dirinya yang bergelimang harta sampai lupa diri terjebak pada gaya pergaulan yang buruk, obat-obatan terlarang, dan perselingkuhan yang sangat memalukan.  

"Sebentar lagi Idul Fitri. Mestinya pakaian dan aneka keperluan lain serba baru sudah datang. Ini mengherankan sekali. Aku takut Sulamun lupa . . .. . !" gumam Mak Fitri setelah kegiatan merenda dan menjahit bersama puluhan teman-temannya yang rata-rata usianya sebaya.

Keesokan paginya Mak Fitri bertanya kepada perawat yang bertugas mengirim sarapan pagi.

"Kenapa Pak Sulamun belum datang-datang juga?"

"Sabar,  Mak. Idul Fitri masih lama. Jangan bosn menunggunya. Berdoa saja. Mungkin kesibukannya banyak, kunjungannya jadi telat. . . . !" jawab si perawat dengan senyum sepenuh bibir.

Namun dalam hati si perawat menggumam perih, untuk dirinya sendiri. "Kenapa masih berharap Sulamun datang, Mak? Ini pelajaran bagi perempuan manapun. Jangan sembarangan menikah dengan lelaki 20 tahun lebih muda. Apalagi yang didapat dengan merebut dari pacar terakhirnya. Sengsara hidupmu dibuatnya. Harta habis, nasib tragis. Ia pasti akan menunggu Fitri yang lain. . . .!"

Mak Fitri tersenyum saja. Tanpa ekspresi. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Lima tahun terakhir ia menjadi penghuni rumah rehabilitasi itu. Bukannya sembuh, tapi makin tak menentu. . . . . ! *** 18 Maret 2018 - 23 Mei 2019 

Gambar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun