Keduanya diam, termenug-menung, dan berkonsentrasi pada buah catur di papan yang mereka hadapi. Segelas kopi hitam panas biasanya langsung terhidang begitu permainan dimulai, tapi hari itu absen. Entah kenapa Mbak Murwo -- si penjual lotek serta aneka makanan dan minuman di samping gardu ronda- hari itu ttidak berjualan.
*
Begitu asyiknya bermain catur hingga tidak tahu ada orang datang dan mengintip permainan mereka. Seperti dua pemain catur profesional, dua lelaki itu bahkan tak menoleh ketika dua pendatang terbatuk-batuk.Ya, siapa lagi yang datang kalau bukan Pak Edi Mur dan Mas Bejo.
"Alhamdulillah kalian muncul lagi. Pos ronda sepi tanpa dua orang pemain catur kawakan di sini. . . .!" komentar Pak Edi Mur seraya duduk berasal papan itu.
"Ada atau tidak ada pos ronda tetap sepi. Mereka hanya sesekali saja bicara. Selebihnya diam. . . . Â hehehe!" sambung Mas Bejo masih dalam posisi berdiri di luar pagar pos ronda.
Pak Edi Mur mencolek Kang Murbani dan Wak Jafar, lalu mengacungkan jempol. "Inilah warga teladan kita. . .!"
"Teladan?"
"Ya, teladan. Pantas di tiru.. . .
"Wah, hebat dong. Dua orang pecatur jomblo dinobatkan menjadi teladan. . . .!" ucap Kang Murbani sambil menggerakkan benteng ke petak hitam. "Skak. . . .!"
Wak Ja'far tergagap. Tapi ia tertawa saja, sebab ia bisa ganti men-skak.Â
Pak Edi Mur meneruskan ucapannya. "Kalau warga di sini seperti Kang Murbani dan Wak Ja'far semua tak perlu ada ribut-ribut soal beda pilihan presiden, beda pilihan partai dan beda pilihan caleg. Semua persoalan dapat diselesaikan di papan catur. Yang menang senang, yang kalah pun senang. Hobi tersalurkan. . . .!"