"Ya, Mak. Â Ingat. Tapi duitnya belum ada, mau dibayar pakai apa?" jawab Pak Edi Mur sambil tersenyum. "Baru sekali terlambat saja sudah diomongi terus. . . .!"
"Baru sekali? Itu seingat bapak saja. Kalau tidak sering-sering Mak ingatkan banyak urusan yang terlambat.. . . .!" jawab Mak Fatmah sebelum melangkah kembali ke dapur.
Untuk tidak mengecewakan isteri, Pak Edi Mur berangkat lebih pagi ke tempat kerjanya. Ia punya bengkel las dan pembuatan aneka perabotan dari besi. Hari ini ia berharap terima sejumlah uang untuk bisa bayar pajak mobil tuanya. Kalau tidak, terpaksa utang. Tiga hari lagi batas akhir pembayaran pajak. Terlambat berarti tidak selamat, didenda.
*
Di lapak lotek dan aneka jajanan di samping pos ronda 'klub banting kartu', Mbak Murwo pun lebih pagi menggelar dagangannya. Seperti biasa, ia bekerja dengan cekatan, trengginas, dan mandiri. Perempuan itu terbiasa mendorong gerobak sendiri, menata meja-kursi dan pasang tenda pun sendiri. Seminggu lalu ia membeli tenda untuk mengantisipasi datangnya musim penghujan.
"Rajin amat, Mbak. . . . !" komentar Mang Oboy yang mengayuh sepeda onthelnya menjajakan tahu keluaran Cibuntu. "Kejar setoran ya?"
"Kejar rupiah. Kalau hanya kejar setoran kapan bisa kaya? Hhheeheh!" jawab Mbak Murwo dengan nada bercanda.
Sepeda Mang Oboy berhenti di depan gerobak. "Betul. Kejar rupiah sampai ke ujung dunia ya. Hari ini perlu berapa potong, Mbak?"
"Lima puluh."
"Cuma lima puluh?"
"Ingat, sekarang musim penghujan. Pelanggan malas datang lantaran takut air hujan!"