Masih pagi Pak Edi Mur sudah ngobrol dengan Mas Bejo di jalan depan rumah mereka. Belum jam enam. Tanah basah oleh hujan semalam, kotor oleh daun-daun belimbing dan rambutan yang rontok. Pak Edi Mur sambil mencuci sepeda motornya. Sedangkan Mas Bejo menyapu dengan sapu lidi halaman yang kotor. Di mana pun bertemu dua lelaki bertetangga itu tak pernah kehabisan bahan untuk ngobrol. Begitu bertemu ada saja bahan diskusi. Kali ini soal pesawat jatuh dengan aneka cerita di sebaliknya.
"Prihatin setiap kali mendengar berita pesawat terbang jatuh ya. . . . ," ucap Pak Edi Mur memulai obrolannya.
"Ya, sangat prihatin, sebab itu berarti semua penumpang tewas. Tidak ada yang bisa diselamatkan," sambut Mas Bejo.
"Kalau saja bisa mendarat darurat masih mungkin ada penumpang yang selamat. Tapi jatuh. Bayangkan pesawat seberat itu.. . . .!" lanjut Pak Edi Mur ketika jongkok membersihkan bagian bawah sepeda motor. "Tidak ada cerita mukjizat seperti dalam kecelakaan kendaraan di darat atau di laut. Dalam musibah kali ini pun tubuh korban tercerai-berai. . . . !"
"Tapi ada yang selamat kok. Diberitakan media.. . . .!"
"Pesawatnya saja terbelah, bagaimana mungkin ada yang selamat? Siapa?" tanya Pak Edi Mur dengan rasa penasaran.
Mas Bejo tertawa. "Orang-orang yang terlambat datang. . . . hahaha!"
"Ohh itu.. . . .," Pak Edi Mur ikut tertawa. "Mereka bukan orang-orang yang selamat dari kecelakaan, tapi terhindar dari kecelakaan."
"Bagaimanapun hal itu bukan sebuah kebetulan. . . .!"
"Mukjizat juga?"
"Mungkin! Sebelum tahu apa yang kemudian terjadi betapa kesal, marah, dan uring-uringan mereka. Tiket hangus, jadwal kegiatan terganggu. Mungkin uang pas-pasan untuk mampu beli tiket lagi .. . . . !" sambung Pak Edi meneruskan obrolannya.