Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dua Mimbar, Metamorfosis, dan Gemah Ripah

15 Juni 2018   21:39 Diperbarui: 16 Juni 2018   06:03 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini ada dua mimbar, dengan dua iman sekaligus khotib, yang harus saya dengarkan ceramah maupun nasihat mereka di kompleks perumahan di Bandung Selatan. Pertama pagi pada shalat Idul Fitri, dan kedua pada shalat Jumat siangnya.

Keduanya sama-sama penting dan sangat kontekstual bagi jamaah untuk diwujudkan seusai sebulan lamanya menjalankan puasa.  Terlebih juga keduanya mendudukkan  ssalah satu ajaran dan nilai Islam kepada segenap muslim-muslimah yang telah meningkat keimanan dan ketakwaan mereka setelah melalui ibadah-amaliah yang tidak mudah sebulan penuh.

*

Hari ini merupakan hari yang fitri, hari kemenangan.  Hari bermuaranya segenap kesabaran-menahan diri dan upaya merengkuh pengalaman rohani yang tinggi. Idul Fitri dapatlah diibaratkan sebagai langkah pertama untuk menapaki hari-hari panjang selama sebelas bulan ke depan, sebelum dipertemukan lagi (doa semua orang) dengan Ramadan berikutnya.

Langkah pertama sekaligus menjadi wisuda dari ujian yang tak ringan. Bersamaan dengan itu menjadi awal dari ujian berikutnya. Ujian yang lalu belum tentu lulus, ujian berikut makin sulit.

Pada saat Ramadan yang halal pun dilarang dimakan/minum pada siang hari (satu diantara banyak aspek), maka sebelas bulan berikutnya mestinya lebih taat pada ketentuan berhentilah sebelum kenyang. Lebih cermat memperhatikan halal-haram, bukan saja zat, tetapi juga cara penyembelihannya (untuk ternak), dan asal-usul uang yang digunakan untuk memperolehnya (bukan hasil korupsi/kriminal).

Itu hanya soal makan-minum. Belum lagi  soal berpakaian dan berpenampilan, bergaul-bermasyarakat, mencari rezeki,  dan banyak lagi. Semangat Ramadan dan Idul Fitri mestilah terus melekat di dalam hati sanubari kita agar tidak tergelincir pada jalan yang salah dan buruk, jalan yang sesat dan menyesatkan. ini nasihat untuk diri sendiri tentu saja.

*

Mimbar pertama pada pagi tadi, setelah shalat sunah Idul Fitri 2 rekaat berjamaah dia tanah lapang di sepanjang jalan raya komplek perumahan, yang meliputi jamaah dua buah masjid. Imam dan Khotibnya Effendi Rahmat yang menjelaskan tentang Islam sebagai umat pertengahan.

Disebutkannya, karakteristik ajaran Islam adalah moderat atau keseimbangan, yakni keseimbangan di antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan. Prinsip keseimbangan ini sejalan dengan fitrah penciptaan manusia dan alam yang harmonis dan serasi.

Mimbar kedua, siang harinya, yaitu mimbar Jumat di Masjid Baabussalam. Imam dan Khotib Deden Mubarok menjelaskan mengenai Ramadan sebagai sarana setiap muslim untuk bermetamorfosis sempurna. Yaitu berubah dari sekadar beriman menjadi bertakwa dan memiliki akhlak mulia. Hal itu diibaratkan proses kehidupan ulat menjadi kupu-kupu yang diikuti perubahan bentuk dan perilaku.

Proses perubahan itu perlu waktu lama. Ulat mengalami pergantian kulit berkali-kali hingga di pergantian kulit terakhir ia menjadi kepompong. Saat itu masanya berpuasa 7-20 hari, hingga akhirnya terbentuk kupu-kupu yang cantik dan bermanfaat dalam proses penyerbukan tanaman.

*

Silaturahim, terjadi pula sejak pagi hingga malam hari. Menundak waktu mudik memiliki keuntungan tersendiri. Selama ini melakukan shalat Idul Fitri di kampung halaman. Bila beruntung bertemu dengan teman-teman lama. Sedangkan bila di rumah sendiri masih bertemu dengan para tetangga dan jamaah masjid yang sama-sama belum atau bahkan tidak pulan kampung.

Dari mulai di lapangan, hingga ke ujung perumahan, hingga ke masjid saat Jumatan, tak lepas dari aktivits saling menyapa, mengucap selamat Idul Fitri, dan bersalaman disertai ucapan saling bermaafan dan mendoakan untuk kebaikan semua.

Begitu mestinya muslim yang menempatkan diri sebagai insan moderat dan menjaga keseimbangan. Dalam Islam sendiri terdiri banyak aliran dan paham, dan alangkah indahnya ketika hari ini penentuan tanggal 1 Syawal 1439 Hijriah pun jatuh parda hari yang sama. Kondisi perekonomian relatif sejuk, lalu-lintas mudik dengan berbagai problemnya relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu, dan berkurangnya aneka kehebohan di media seperti biasanya jelang Lebaran.

Dan itu semua mudah-mudahan hikmah dan berkah dari proses moderat serta metamorfosis setiap muslim yang melaksanakan ibadah-amaliah Ramadan dengan lebih baik tahun ini.

Mudah-mudahan ini pertanda baik, bahwa bangsa Indonesia (khususnya umat Islam) terus belajar dengan baik menghadapi ujian demi ujian secara individu maupun kelompok untuk berperan penting membawa negeri ini pada kondisi ideal: adil-makmur, serta aman dan sejahtera. Dalam Bahasa Jawa disebut 'gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo'. Sedangkan dalam bahasa Arab, 'baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur". Insya Allah. Aamiin. Mungkinkah? Insya Allah.*15/6/2018

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun