Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rindu Ramadan, Tarawih Keliling dan Umur

12 Juni 2018   23:24 Diperbarui: 13 Juni 2018   05:53 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada waktu khusus yang istimewa, dan bagi setiap muslim-muslimah waktu itu keistimewaannya melebihi hari-hari apapun  yang dikenalnya. Itu yang saya rasakan setelah umur menua, dan semua hal yang penting yang saya rasakan dan pahami tentang dunia ternyata semu dan sesekali menipu.

Waktu khusus itu tak lain bulan Ramadan.

Banyak yang sudah saya tulis dalam 'tabur hikmah ramadan' hampir sebulan ini, dan semua itu tak lain bernuansa kerinduan pada masa lalu. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian seperti tiba-tiba menjadi tua. Kerinduan panjang yang dipicu oleh Ramadan.

Rindu minum air dari ember timba dalam perjalanan siang hari yang bikin haus seketika hilang kala baru belajar berpuasa. Rindu dentuman meriam bambu membangunkan orang sahur. Rindu pada ibu dan bapak yang dengan kesederhanaan pengetahuan agama mereka mengajari berpuasa. Rindu pada cara teman-teman beda agama setengah mabuk yang leluasa main lempar batu ke atap seng tetangga untuk membangunkan sekaligus menakuti orang sahur. Rindu buka puasa bersama  anak-anak pesantren dengan berebut takjil. Rindu safari Ramadan dengan acara berbuka dan sahur di pelosok pedesaan. Rindu makan sahur yang disediakan oleh tuan rumah yang nonmuslim. Dan banyak lagi.

Dan itu berarti merindukan sesuatu yang tidak mungkin kembali. Dalam bahasa agama, waktu yang sangat jauh itu masa lalu (meski baru beberapa detik berlalu), sedangkan waktu terdekat adalah masa depan, persisnya kematian. Indah, senang, bagusnya masa lalu akan terus dirindukan namun tak mungkin terulang lagi.

*

Dulu waktu kecil, seperti kebanyakan anak-anak pantang  memikirkan hal-hal rumit. Yang dipikirkan kenapa tiba-tiba harus berpuasa selama sebulan. Ada perasaan segan dan malas bila bertemu dengan bulan Ramadan. Namun sebenarnya dalam hati berharap juga, terutama ingat nanti pada akhir bulan akan mendapatkan pakaian baru, banyak makanan, dan diajak berwisata, atau bepergian ke rumah ke sanak sanak-saudara yang jauh.

Pada masa remaja perasaan seperti itu sesekali masih datang. Ramadan dianggap sebagai penghalang aneka kegiatan, karena harus banyak berhitung dan berpantang. Mau bermain olahraga, pergi ke toko buku atau perpustakaan, mau ditraktir teman, dan bersepeda ke tempat yang jauh harus selalu ingat waktu kapan berbuka. Belum lagi pada malam harinya ada shalat tarawih, dan sebelum subuh ada sahur.

Baru setelah bekerja dan berkeluarga, perasaan seperti itu sedikit demi sedikit terkikis. Setelah tahu manfaat secara jasmani dan rohani melakukan puasa,  terlebih setelah memahami nilai yang sangat besar dalam beribadah dan bermuamalah pada bulan itu, puasa dirasa sebagai hal yang sangat ringan.

Ada beberapa kendala kerja yang dirasakan, tetapi itu bukan hal yang sangat serius. Melakukan liputan  Pak Menteripada buka puasa bersama dan tarawih keliling misalnya, menjadi sebuah perenungan panjang, bahwa bekerja dan beribadah itu harus selaras, saling mengisi dan memberi manfaat.

Lepas dari persoalan politik dan perilaku sebuah rezim, kegiatan itu tidak gampang. Sebab masjid dan pesantren yang dikunjungi kebanyakan di pedesaan. Waktunya sampai berhari-hari, jadwalnya padat. Mobil berderet-deret di belakang mobil menteri pada jalan desa. Tak pelak kru harus berlari-lari agar mendapatkan momen yang terbaik. Momen pak Menteri dan rombongan bersalaman dengan pihak tuan rumah, dan berbagai momen lain yang bernilai berita. Belakangan orang mencibir berita seperti itu, padahal perubahan yang ada sebenarnya sekadar beda kemasan dan pilihan substansi. Yang diberitakan nyaris serupa.

Kembali pada bagaimana mestinya menyelaraskan tuntutan keseharian dan pekerjaan, dengan kehidupan beragama, ternyata memang sebuah keniscayaan. Tidak boleh saling dijauhkan, apalagi dikondisikan bertolak-belakang. Maka dalam agama pun dianjurkan mengejar akhirat tetapi dengan tidak mengabaikan dunia. Maka betapa nyaman dan nikmat menjalani kehidupan meski siang hari berpuasa dan malam hari disibukkan dengan ritual Ramadan yang menghabiskan waktu tidur. Semua terjadi dengan keyakinan bahwa Allah menjanjikan  pahala besar di akhirat kelak.

*

Para pembisnis busana muslim pasti merindukan sekali datangnya Ramadan. Begitupun dengan pengrajin sandal dan sepatu, ikat pinggang -- dompet  dan tas kulit. Hal serupa dialami usaha skala besar maupun kecil dalam pebuatan kue kering, dan aneka camilan lain yang menjadi ciri khas tiap-tiap daerah. Omset mereka meningkat pesat jelang Lebaran. Tak heran para karyawan harus lembur sampai jauh malam, bahkan Sabtu-Ahad tetap bekerja demi mengejar target produksi.

Namun para bandar besar sembako dan berbagai bahan pangan lain tahun ini kayaknya gigit jari. Mereka tidak mampu bermain harga lagi seperti tahun-tahun lampau, terbukti harga-harga jelang Lebaran tidak bikin heboh di media seperti biasanya. Mereka pasti tak akan merindukan lagi datangnya bulan Ramadan, khususnya hari-hari jelang Lebaran, modus kriinal mereka terendus aparat.

Untuk yang menyukai suasana mudik yang macet total, sejauh ini rupanya tidak mendapatkan nostalgia yang dicerca namun dirindukan itu. Macet mudik dengan berbagai penyebab dan akibatnya, mungkin sudah mulai terdeteksi akar masalah untuk pemecahannya. Bila pengemudi tertib, mengikuti aturan yang ada (menggunakan jalan alternatif, adanya contraflow, penumpang tidak melebihi kapasitas, jarak tertentu beristirahat, dsb.), dan tidak ugal-ugalan di jalan, maka angka kecelakaan dan korban tewas tahun ini mudah-mudahan dapat ditekan serendah mungkin.

Satu hal pasti, merindukan masa lalu apapun peristiwanya (bahkan peristiwa buruk) memang indah. Peristiwa baik-menang-berhasil jelas akan dikenang sepanjang umur. Namun peristiwa buruk pun akan dikenang, setidaknya dari sisi hikmah dan pengaruh baiknya kemudian. Ini dengan asumsi dasar bahwa perputaran roda kehidupan memang hanya dua: baik - buruk, senang - sedih, menang - kalah, untung - rugi, dan seterusnya. Sementara itu tanpa kita sadari seringkali dalam buruk ada sisi baiknya, dalam rugi ada sisi untungnya, dan seterusnya.

Maka merindukan Ramadan mungkin 'buruk' untuk urusan dunia, padahal sesungguhnya "baik dan bahkan sangat baik" untuk urusan akhirat. Dan seseorang yang mendapatkan kesadaran ini pasti sangat merindukan kembalinya Ramadan.

*

Saya tidak tahu apa urusan saya dengan orang lain soal rindu mereka kepada Ramadan, tetapi itu sebagai instrospeksi diri saja. Bahwa tiap orang punya kesenangan dan perjuangannya sendiri terhadap Ramadan. Dan apa yang saya ceritakan hingga tulisan ke 29 ini tak lain pengalaman dan pemikiran serta  keasyikan saya sendiri dalam merindukan Ramadan pada masa lalu.

Saya sudah merasa optimal menjamu dan menghormati tamu agung bernama Ramadan tahun ini, namun selalu ada perasaan kurang..

Karenanya saya akan merindukannya datang tahun depan. Mudah-mudahan masih ada umur untuk berjumpa lagi. Kalaupun tidak, mudah-mudahan saya mendapatkan hal yang terbaik pada Ramadan tahun ini. Aamiin,***12/6/2018

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun