Kembali pada bagaimana mestinya menyelaraskan tuntutan keseharian dan pekerjaan, dengan kehidupan beragama, ternyata memang sebuah keniscayaan. Tidak boleh saling dijauhkan, apalagi dikondisikan bertolak-belakang. Maka dalam agama pun dianjurkan mengejar akhirat tetapi dengan tidak mengabaikan dunia. Maka betapa nyaman dan nikmat menjalani kehidupan meski siang hari berpuasa dan malam hari disibukkan dengan ritual Ramadan yang menghabiskan waktu tidur. Semua terjadi dengan keyakinan bahwa Allah menjanjikan  pahala besar di akhirat kelak.
*
Para pembisnis busana muslim pasti merindukan sekali datangnya Ramadan. Begitupun dengan pengrajin sandal dan sepatu, ikat pinggang -- dompet  dan tas kulit. Hal serupa dialami usaha skala besar maupun kecil dalam pebuatan kue kering, dan aneka camilan lain yang menjadi ciri khas tiap-tiap daerah. Omset mereka meningkat pesat jelang Lebaran. Tak heran para karyawan harus lembur sampai jauh malam, bahkan Sabtu-Ahad tetap bekerja demi mengejar target produksi.
Namun para bandar besar sembako dan berbagai bahan pangan lain tahun ini kayaknya gigit jari. Mereka tidak mampu bermain harga lagi seperti tahun-tahun lampau, terbukti harga-harga jelang Lebaran tidak bikin heboh di media seperti biasanya. Mereka pasti tak akan merindukan lagi datangnya bulan Ramadan, khususnya hari-hari jelang Lebaran, modus kriinal mereka terendus aparat.
Untuk yang menyukai suasana mudik yang macet total, sejauh ini rupanya tidak mendapatkan nostalgia yang dicerca namun dirindukan itu. Macet mudik dengan berbagai penyebab dan akibatnya, mungkin sudah mulai terdeteksi akar masalah untuk pemecahannya. Bila pengemudi tertib, mengikuti aturan yang ada (menggunakan jalan alternatif, adanya contraflow, penumpang tidak melebihi kapasitas, jarak tertentu beristirahat, dsb.), dan tidak ugal-ugalan di jalan, maka angka kecelakaan dan korban tewas tahun ini mudah-mudahan dapat ditekan serendah mungkin.
Satu hal pasti, merindukan masa lalu apapun peristiwanya (bahkan peristiwa buruk) memang indah. Peristiwa baik-menang-berhasil jelas akan dikenang sepanjang umur. Namun peristiwa buruk pun akan dikenang, setidaknya dari sisi hikmah dan pengaruh baiknya kemudian. Ini dengan asumsi dasar bahwa perputaran roda kehidupan memang hanya dua: baik - buruk, senang - sedih, menang - kalah, untung - rugi, dan seterusnya. Sementara itu tanpa kita sadari seringkali dalam buruk ada sisi baiknya, dalam rugi ada sisi untungnya, dan seterusnya.
Maka merindukan Ramadan mungkin 'buruk' untuk urusan dunia, padahal sesungguhnya "baik dan bahkan sangat baik" untuk urusan akhirat. Dan seseorang yang mendapatkan kesadaran ini pasti sangat merindukan kembalinya Ramadan.
*
Saya tidak tahu apa urusan saya dengan orang lain soal rindu mereka kepada Ramadan, tetapi itu sebagai instrospeksi diri saja. Bahwa tiap orang punya kesenangan dan perjuangannya sendiri terhadap Ramadan. Dan apa yang saya ceritakan hingga tulisan ke 29 ini tak lain pengalaman dan pemikiran serta  keasyikan saya sendiri dalam merindukan Ramadan pada masa lalu.
Saya sudah merasa optimal menjamu dan menghormati tamu agung bernama Ramadan tahun ini, namun selalu ada perasaan kurang..
Karenanya saya akan merindukannya datang tahun depan. Mudah-mudahan masih ada umur untuk berjumpa lagi. Kalaupun tidak, mudah-mudahan saya mendapatkan hal yang terbaik pada Ramadan tahun ini. Aamiin,***12/6/2018