Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Malam Ramadhan, Tantangan Kompasiana, dan Pencapaian

10 Juni 2018   21:07 Diperbarui: 10 Juni 2018   21:22 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menulis di laptop/penerbitdeepublish.com

Malam pada bulan Ramadan terasa selalu lebih pendek. Aktivitas tarawih dn bertadarus Al Qur'an sampai sekitar pukul 22.00 WIB, sementara itu pada sekitar pukul 03.00 WIB sudah harus bangun untuk shalat Tahajud, diteruskan dengan makan sahur, dan shalat subuh berjamaah di masjid.

Sepuluh hari terakhir tidak ada lagi siaran televisi di rumah. Ruang gosip dan sarana melalai-lalaikan ingatan pada ibadah itu tak lagi mempengaruhi kehidupan saya setelah kabel antenna dan kabel listrik saya cabut dari aliran listrik. Sepuluh hari terakhir jadi terasa nyaman dari terror mereka.

Maka saya harus berjuang agar terjaga lebih panjang. Namun gantinya memang siang hari. Sebagai pensiunan, tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan selain rutinitas kesibukan rumah-tangga. Siang dapat digunakan untuk tidur dua jam pagi, dan siang/sore satu jam. Total jam tidur dengan tiga jam malam hari, jadilah enam jam. Dengan itu Alhamdulillah kesehatan dapat dikendalikan; masuk angin, flu dan gangguan kesehatan lain dapat dihindari.

Sehat menjadi satu sisi yang tidak boleh diabaikan selama menjalani puasa Ramadan. Pada puasa sunah Senin-Kamis saya dapat mengurangi seluasa jam tidur (menulis sampai sam 01.00 atau 02.00 WIB, dan jam 04 sudah bangun), karena keesokan harinya tidak berpuasa (makan-minum lebih leluasa).

*

Malam selama bulan Ramadan aktivitas bersama keluarga --anak dan isteri- menjadi lebih banyak. Dari mulai makan-minum berbuka dan sahur bersama, hingga shalat berjamaah di masjid. Hal seperti ini mestinya yang dulu -ketika anak-anak dalam usia pertumbuhan dan keluarga masih utuh- lebih sering dilakukan. Namun dulu waktu berharga itu untuk pekerjaan yang tak kenal waktu itu. Kerja di media dapat diibaratkan memiliki jam kerja 24 jam sehari. Waktu habis di perjalanan, di lokasi yang jauh dari rumah, dan kemudian juga di ruang redaksi, ruang editing gambar dan monitoring.

Dulu ketika gambar dan suara harus dibawa secara manual, maka pergi dan pulang secara fisik harus dilakukan. Menyetor kaset, membuat naskah berita/laporan, dan kembali ke lokasi liputan, meski di tempat yang sama sehari sebelumnya dengan beberapa jam perjalanan. Pulang juga harus dilakukan sebab sering kali ganti kru, ganti peralatan, ganti mobil dan pengemudinya.

*

Namun malam yang panjang seperti saya kemukakan di atas menjadi berkurang karena 'tugas' penulisan dari Kompasiana. Ini tantangan untuk disiplin dan menggali gagasan sendiri. tantangan menulis dengan tema berbeda satu tulisan sehari untuk 32 hari (mulai dua hari sebelum Ramadan hingga hari pertama Lebaran -1 Syawal 1439 Hijriah). Untuk urusan itu saya harus bertahan hingga tengah malam sebagai batas akhir posting hari itu.

Sampai dengan tulisan ke 27 hari ini, saya harus berkutat dengan laptop ditengah mengantuk dan lelah. Selain tersendat mendapatkan ide, terutama juga untuk mendapatkan gambar pendukung sesuai tema yang telah ditentukan. Beberapa tema sangat tidak cocok untuk seorang pensiunan seperti saya. Senjata pamungkasnya ya mengorek-ngorek cerita masa lalu yang sebagian sudah terlupa karena ingatan yang menurun. Kerena lama tidak mendapatkan bahan tulisan, dua atau tiga kali saya mengganti bentuk tulisan menjadi fiksi.

Bila ide dan penulisan lancar, mempostingnya dapat saya lakukan siang hari. Namun itu pun tidak sampai lima kali. Selebihnya berjuang hingga detik-detik terakhir, sepuluh bahkan lima menit terakhir. Alasan kenapa saya bisa menulis cepat salah satunya karena waktu itu ada rencana ngabuburit, berbuka dan shalat tarawih di Masjid Raya Bandung. Apapun hasilnya, lewat Zuhur saya sudah memposting tulisan hari itu.

*

Pada malam ganjil pertama dan kedua (malam 21 dan 23) saya tidak mampu optimal karena menulis hingga jelang tengah malam. Semalam saya menyselesaikan tulisan sekitar jam 22.30 WIb, dan setengah jam kemudian saya langsung ke masjid untuk ber-i'tikaf berbura lailatul qadar.

Saya bergabung dengan sekiar 30 remaja masjid (putera-puteri) yang sejak shalat tarawih sudah berada di masjid dengan bimbingan bebeberapa pengurus masjid. Mereka bergantian tidur, bertadarus, ngobrol mengenai agama, sedangkan anak lainnya mengambil makanan dan membuat minuman untuk menahan kantuk.

Saya membayangkan saat seumur mereka saya tinggal di kawasan Pecinan, dan jauh dari masjid. Jauh dalam pengertian fisik maupun minat/perhatian. Jangankan berlama-lama di dalam masjid, shalat berjamaah dan tarawih pun beberapa kali saya lakukan di rumah saja. Menyesal setelah umur tua sebab semua itu berakibat pada banyak hal, termasuk pada minimnya ilmu agama yang saya miliki. Maka pada sisa usia ini setiap waktu ingin saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya menggali ilmu dan amaliahnya, dengan semaksimal mungkin,     

Pada malam itu saya menyesali masa lalu --seperti malam-malam sebelumnya-, meneteskan air mata, dan memohon ampunanNya. Malam itu saya tidak tertidur sekejap pun. Sampai pulang ke rumah untuk makan sahur, dan kembali ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah dan mendenarkan tausiah.   

*

Bila tidak dipaksakan tak mungkin kita dapat begitu saja meluangkan waktu untuk menggali diri sendiri, berinstrospeksi, mengenang cerita kanak-kanak dan berbagai kisah silam lainnya yang telaha tertimbun lipatan waktu. Melalui program Satu Ramadan Bercerita (Samber) dan Tebar Hikmah Ramadan (THR) yang diselenggarakan Kompasiana pada Ramadan 1439 Hijriah ini, saya mengisi sebagian besar malam untuk aktivitas Ramadan serta menulis mengenai pengalaman dan diri saya sendiri.

Tentu saja setiap orang punya cerita mereka masing-masing.  kesempatan untuk saling bercerita kiranya menjadi ajang saling menasihati dan menginspirasi bila mungkin. Namun tanpa ada kesempatan dan kemauan khusus, tanpa momentum yang digelar, tak mungkin terwujud satu hari satu tulisan aneka tema yang ditulis baru dan orisinal (bukan mengembangkan/memplagiat tulisan orang lain) menjadi sangat berarti bagi saya (dan bagi yang lain peserta kegiatan ini).

Lepas dari kualitas tulisan dan jumlah pembacanya yang minim, saya merasa Ramadan kali ini saya telah membuat sebuah pencapaian yang berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu. Masih beberapa hari lagi untuk menggenapi 32 hari menulis, masih ada dua malam ganjil lagi untuk diburu, masih perlu perjuangan tak ringan menjelang finish. Demikian selintas aktivitas malam saya. Selain tulisan, mudah-mudahan lailatul qadar pada Ramadan ini pun dapat saya peroleh. Insya Allah. Aamiin. ***10/6/2018

Foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun