Malam pada bulan Ramadan terasa selalu lebih pendek. Aktivitas tarawih dn bertadarus Al Qur'an sampai sekitar pukul 22.00 WIB, sementara itu pada sekitar pukul 03.00 WIB sudah harus bangun untuk shalat Tahajud, diteruskan dengan makan sahur, dan shalat subuh berjamaah di masjid.
Sepuluh hari terakhir tidak ada lagi siaran televisi di rumah. Ruang gosip dan sarana melalai-lalaikan ingatan pada ibadah itu tak lagi mempengaruhi kehidupan saya setelah kabel antenna dan kabel listrik saya cabut dari aliran listrik. Sepuluh hari terakhir jadi terasa nyaman dari terror mereka.
Maka saya harus berjuang agar terjaga lebih panjang. Namun gantinya memang siang hari. Sebagai pensiunan, tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan selain rutinitas kesibukan rumah-tangga. Siang dapat digunakan untuk tidur dua jam pagi, dan siang/sore satu jam. Total jam tidur dengan tiga jam malam hari, jadilah enam jam. Dengan itu Alhamdulillah kesehatan dapat dikendalikan; masuk angin, flu dan gangguan kesehatan lain dapat dihindari.
Sehat menjadi satu sisi yang tidak boleh diabaikan selama menjalani puasa Ramadan. Pada puasa sunah Senin-Kamis saya dapat mengurangi seluasa jam tidur (menulis sampai sam 01.00 atau 02.00 WIB, dan jam 04 sudah bangun), karena keesokan harinya tidak berpuasa (makan-minum lebih leluasa).
*
Malam selama bulan Ramadan aktivitas bersama keluarga --anak dan isteri- menjadi lebih banyak. Dari mulai makan-minum berbuka dan sahur bersama, hingga shalat berjamaah di masjid. Hal seperti ini mestinya yang dulu -ketika anak-anak dalam usia pertumbuhan dan keluarga masih utuh- lebih sering dilakukan. Namun dulu waktu berharga itu untuk pekerjaan yang tak kenal waktu itu. Kerja di media dapat diibaratkan memiliki jam kerja 24 jam sehari. Waktu habis di perjalanan, di lokasi yang jauh dari rumah, dan kemudian juga di ruang redaksi, ruang editing gambar dan monitoring.
Dulu ketika gambar dan suara harus dibawa secara manual, maka pergi dan pulang secara fisik harus dilakukan. Menyetor kaset, membuat naskah berita/laporan, dan kembali ke lokasi liputan, meski di tempat yang sama sehari sebelumnya dengan beberapa jam perjalanan. Pulang juga harus dilakukan sebab sering kali ganti kru, ganti peralatan, ganti mobil dan pengemudinya.
*
Namun malam yang panjang seperti saya kemukakan di atas menjadi berkurang karena 'tugas' penulisan dari Kompasiana. Ini tantangan untuk disiplin dan menggali gagasan sendiri. tantangan menulis dengan tema berbeda satu tulisan sehari untuk 32 hari (mulai dua hari sebelum Ramadan hingga hari pertama Lebaran -1 Syawal 1439 Hijriah). Untuk urusan itu saya harus bertahan hingga tengah malam sebagai batas akhir posting hari itu.
Sampai dengan tulisan ke 27 hari ini, saya harus berkutat dengan laptop ditengah mengantuk dan lelah. Selain tersendat mendapatkan ide, terutama juga untuk mendapatkan gambar pendukung sesuai tema yang telah ditentukan. Beberapa tema sangat tidak cocok untuk seorang pensiunan seperti saya. Senjata pamungkasnya ya mengorek-ngorek cerita masa lalu yang sebagian sudah terlupa karena ingatan yang menurun. Kerena lama tidak mendapatkan bahan tulisan, dua atau tiga kali saya mengganti bentuk tulisan menjadi fiksi.
Bila ide dan penulisan lancar, mempostingnya dapat saya lakukan siang hari. Namun itu pun tidak sampai lima kali. Selebihnya berjuang hingga detik-detik terakhir, sepuluh bahkan lima menit terakhir. Alasan kenapa saya bisa menulis cepat salah satunya karena waktu itu ada rencana ngabuburit, berbuka dan shalat tarawih di Masjid Raya Bandung. Apapun hasilnya, lewat Zuhur saya sudah memposting tulisan hari itu.