Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hadiah, Radio Transistor, dan Lailatul Qadar

8 Juni 2018   14:21 Diperbarui: 8 Juni 2018   15:31 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tiga bocah bertadarus di masjid (www.shutterstock.com)

Sepanjang perjalanan umur dan ingatan, hadiah Lebaran yang paling berkesan yang pernah saya terima (saya dan seluruh keluarga) tak lain ada sebuah radio transistor empat band merek National. Itu pada akhir tahun 1960-an. Ini cerita masih terkait dengan keberhasilan bapak menjual tanaman tembakaunya dengan harga yang sangat baik waktu itu. Selain membeli dua ekor kambing di pasar Kliwon, bapak juga ke toko dan pulangnya membawa sebuah radio transistor.

Radio postable itu menggunakan batu baterai besar sebanyak empat buah. Baterai lebih dahulu dimasukkan semacam tabung sebelum di pasang pada bagian belakang-bawah, dan akan menghidupkannya hingga mengeluarkan bunyi penyiar dan lagu-lagu masa itu. Salah satu acara favorit pendengar yaitu perkenalan lagu-lagu baru dengan membacakan liriknya, lalu pendengar menulis bait demi bait diiringi lagu yang bersangkutan. Bila lirik selesai ditulis, penyiar memutarkan seluruh lagu utuh, dan pendengar dapat menyanyikannya dengan membaca lirik yang sudah ditulis.

Saya masih ingat satu lagu yang dibacakan liriknya. Lagu baru itu berjudul Pergi ke Bulan yang digubah A.Riyanto, dan dinyanyikan oleh adik sepupunya Tetty Kadi.

Siapa yang mau ikut, ayo berangkat,pergi denganku // Di hari libur sekarang, pergi jauh, menuju bulan / Jangan lupa banyak-banyak, membawa bekal /  Agar tidak kelaparan,di jalanan // Ayo kawan kita berangkat / Naik delman atau onta / Kita rame-rame, pergi ke bulan / Kita rame-rame, pergi ke bulan / Kita rame-rame, pergi..ke..bu..lan // 

Isi lirik lagu itu tentu melampaui zamannya. Karena lama setelah itu belum pernah ada lagu yang  mengajak bertamasya ke bulan. Yang paling sering ya ke pantai, ke taman, ke gunung, atau ke kebun binatang. Untuk pembaca seusia saya pasti kenal betul lagu itu, lagu yang diudarakan melalui radio jadul namun tak mudah dilupakan di dalam hati.

Terkait dengan urusan bulan, baru sekitar sepuluh tahun kemudian dua orang Amerika berhasil mendarat di bulan. Namun sayang sekali mereka tidak dalam rangka berwisata, apalagi menggunakan delman atau unta dan membawa bekal banyak-banyak. Tidak. Mereka menggunakan pesawat luar angkasan yang bernama Apollo.

Tepat pada 20 Juli 2014, menandai 45 tahun mendaratnya manusia pertama di bulan, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin. Keduanya mendarat di bulan pada 20 Juli 1969 bersama dengan astronaut Michael Collins.

Jelas itu akal-akalan Kelik (nama panggilan A. Riyanto) yang sangat kreatif dan banyak gagasan. Sepanjang kariernya sejak SMP/SMA hingga meninggal pada umur 50 tahun jumlah karya lagunya mencapai angka ribuah judul. Ia pun sukses mengorbitkan banyak penyanyi top-legendaris Indonesia pada masanya.

Ihwal hadiah itu sekali lagi tidak hanya untuk saya, tetapi untuk seluruh keluarga: ibu dan tujuh adik saya. Maka tak heran kami pun sering berebut memutar kenop untuk memindah-mindah channel, untuk mengganti saluran bila suara yang keluar tidak jernih dan mengganggu telinga.

Sedangkan ingatan tentang bulan (judul/lirik lagu) hingga pada peristiwa pendaratan manusia ke bulan, rasanya cocok terkait dengan bulan mulia bernama Ramadan yang selalu datang setiap tahun bagi  yang masih memiliki umur. Namun untuk tahun depan belum tahu.

*

Hadiah Lebaran ke dua yang masih saya ingat yaitu sebuah sepeda motor baru. bukan 'secondhand' alias 'tweedehands", dan bukan pula kreditan. Itu waktunya ketika saya tingkat tiga, tahunnya 1979. 

Sekitar pertengahan tahun. Selama sekolah SMA dan kemudian masuk ke perguruan tinggi saya rajin naik sepeda onthel. Saya pernah bersepeda dari rumah ke Surabaya pergi-pulang, ke Pekalonga, dan naik ke Sarangan tembus Tawangmangu. Selain itu sesekali saya naik Colt Kampus (mobil merek Mitsubishi, yang belakangan lebi dikenal sebagai Angkutan Kota atau Angkot).

Tanpa rencana dan tanpa permintaan, Ibu pada suatu hari mengajak saya untuk ke berangkat ke dealer motor. Senang bukan main hati saya. Kami naik becak dari rumah. Saya masih ingat tempatnya di Jalan Perwakilan (nama jalan bersebelahan dengan gedung DPRD setempat). Dan di sana Ibu mengeluarkan uang 350 ribu rupiah, tak lebih tak kurang. Dan itu harga motor Suzuki baru, gres, dan mengkilap warna biru. Alhamdulillah.

Sulit dibayangkan betapa bahagianya saya. Namun lebih tak terbayangkan bagaimana ibu mengumpulkan uang sebanyak itu. Sebagai pedagang kecil di pasar, hidupnya berkutat pada modal dan penghasilan kecil yang kemudian diputar untuk membeli bahan-bahan bahan berjualan, untuk arisan, untuk kegiatan sosial, untuk berbagi dengan lima hingga tujuh orang kerja, dan untuk menyediakan biaya menghidupi anak-anak yang banyak itu.

Dengan motor itu saya belajar giat di kampus dan mendapatkan beasiswa sebesar 45 ribu rupiah sebulan, dan diambil setiap tiga bulan, hingga selesai kuliah. Besaran beasiswa Supersemar selama tiga bulan itu cukup untuk membayar SPP selama dua semester. Maka dengan itu saya tidak membebani ibu dengan biaya kuliah.  Dan satu hal, bila ada yang bertanya "Piye Kabare? Penak jamanku to?" dalam kaitan dengan beasiswa itu, maka jawaban saya tegas: "Enak tenan!"

Meski kemudian beberapa tank masuk kampus untuk membubarkan demo dan semua mahasiswa harus lari pontang-panting menyelamatkan diri masing-masing; saya kekeuh pada pendirian bahwa dulu pernah ada sosok jenderal yang selalu tersenyum mirip Koeswali dari Pamulang (yang viral di medsos) dan sudah menebar banyak 'enak tenan' menjadi nyata adanya.

*

Hadiah ketiga memang belum pernah saya rasakan. Tapi saya sangat merindukannya. Dan bukan dari bapak atau ibu. Tapi dari Sang Khalik, yaitu mendapatkan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, alias 'lailatulqadar'                                              

Sepuluh hari terakhir setiap Ramadan, termasuk Ramadan 1439 Hijriah ini, saya sangat berharap mendapatkannya. Dan itu pasti akan jauh lebih berharga dibandingkan hadiah radio transistor empat band dan sepeda motor buatan Jepang secanggih apapun.

Itu sebabnya saya memperbanyak melakukan ibadah sunah dan muamalah, serta tadarus dan berbagai amalan lagi. Sekali saja hadiah itu datang, maka beruntunglah saya dalam menjalani sisa hidup ini. Untuk itu sebagai ajakan, mari memperbanyak waktu di dalam masjid dengan berdzikir, beritikaf yaitu berdiam diri dan memikirkan berbagai aspek penciptaan serta betapa besar karunia Allah terhadap manusia meski banyak diantaranya yang mengingkari dan menyekutukannya dengan yang lain.

Itu saja cerita hari ini. Mudah-mudahan bukan hal buruk untuk direnungkan dan diikuti --terlebih impian untuk mendapatkan hadiah yang ketiga di atas-, sehingga pada akhir Ramadan nanti kita mampu meraih derajat manusia bertakwa dan   kembali kepada fitrah. Insya Allah.***8/6/2018

Foto/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun