Hadiah Lebaran ke dua yang masih saya ingat yaitu sebuah sepeda motor baru. bukan 'secondhand' alias 'tweedehands", dan bukan pula kreditan. Itu waktunya ketika saya tingkat tiga, tahunnya 1979.Â
Sekitar pertengahan tahun. Selama sekolah SMA dan kemudian masuk ke perguruan tinggi saya rajin naik sepeda onthel. Saya pernah bersepeda dari rumah ke Surabaya pergi-pulang, ke Pekalonga, dan naik ke Sarangan tembus Tawangmangu. Selain itu sesekali saya naik Colt Kampus (mobil merek Mitsubishi, yang belakangan lebi dikenal sebagai Angkutan Kota atau Angkot).
Tanpa rencana dan tanpa permintaan, Ibu pada suatu hari mengajak saya untuk ke berangkat ke dealer motor. Senang bukan main hati saya. Kami naik becak dari rumah. Saya masih ingat tempatnya di Jalan Perwakilan (nama jalan bersebelahan dengan gedung DPRD setempat). Dan di sana Ibu mengeluarkan uang 350 ribu rupiah, tak lebih tak kurang. Dan itu harga motor Suzuki baru, gres, dan mengkilap warna biru. Alhamdulillah.
Sulit dibayangkan betapa bahagianya saya. Namun lebih tak terbayangkan bagaimana ibu mengumpulkan uang sebanyak itu. Sebagai pedagang kecil di pasar, hidupnya berkutat pada modal dan penghasilan kecil yang kemudian diputar untuk membeli bahan-bahan bahan berjualan, untuk arisan, untuk kegiatan sosial, untuk berbagi dengan lima hingga tujuh orang kerja, dan untuk menyediakan biaya menghidupi anak-anak yang banyak itu.
Dengan motor itu saya belajar giat di kampus dan mendapatkan beasiswa sebesar 45 ribu rupiah sebulan, dan diambil setiap tiga bulan, hingga selesai kuliah. Besaran beasiswa Supersemar selama tiga bulan itu cukup untuk membayar SPP selama dua semester. Maka dengan itu saya tidak membebani ibu dengan biaya kuliah. Â Dan satu hal, bila ada yang bertanya "Piye Kabare? Penak jamanku to?" dalam kaitan dengan beasiswa itu, maka jawaban saya tegas: "Enak tenan!"
Meski kemudian beberapa tank masuk kampus untuk membubarkan demo dan semua mahasiswa harus lari pontang-panting menyelamatkan diri masing-masing; saya kekeuh pada pendirian bahwa dulu pernah ada sosok jenderal yang selalu tersenyum mirip Koeswali dari Pamulang (yang viral di medsos) dan sudah menebar banyak 'enak tenan' menjadi nyata adanya.
*
Hadiah ketiga memang belum pernah saya rasakan. Tapi saya sangat merindukannya. Dan bukan dari bapak atau ibu. Tapi dari Sang Khalik, yaitu mendapatkan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, alias 'lailatulqadar' Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Sepuluh hari terakhir setiap Ramadan, termasuk Ramadan 1439 Hijriah ini, saya sangat berharap mendapatkannya. Dan itu pasti akan jauh lebih berharga dibandingkan hadiah radio transistor empat band dan sepeda motor buatan Jepang secanggih apapun.
Itu sebabnya saya memperbanyak melakukan ibadah sunah dan muamalah, serta tadarus dan berbagai amalan lagi. Sekali saja hadiah itu datang, maka beruntunglah saya dalam menjalani sisa hidup ini. Untuk itu sebagai ajakan, mari memperbanyak waktu di dalam masjid dengan berdzikir, beritikaf yaitu berdiam diri dan memikirkan berbagai aspek penciptaan serta betapa besar karunia Allah terhadap manusia meski banyak diantaranya yang mengingkari dan menyekutukannya dengan yang lain.
Itu saja cerita hari ini. Mudah-mudahan bukan hal buruk untuk direnungkan dan diikuti --terlebih impian untuk mendapatkan hadiah yang ketiga di atas-, sehingga pada akhir Ramadan nanti kita mampu meraih derajat manusia bertakwa dan  kembali kepada fitrah. Insya Allah.***8/6/2018