Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mudik, Ke Makam, dan Ngantuk

7 Juni 2018   23:14 Diperbarui: 7 Juni 2018   23:28 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik? Ya, saya mudik. Kali ini tidak ke Wetan, tapi ke Utara. Jauh ke seberang pulau. Ke kampung halaman isteri saya. Setidaknya bertemu dengan saudara-saudaranya. Isteri pada enam tahun lalu telah beristirahat di pemakaman umum Sea, Minahasa. Mertua pun keduanya sudah tiada.

Waktu berlalu terasa begitu cepat, dan kenangan pada orang-orang yang telah tiada selalu muncul setiap kali ada rencana untuk mengunjunginya. Hampir tiap tahun saya dan anak-anak mengujungi makam ibu dan bapak di Wetan. Dan baru kali ini saya berencana mengunjungi makam isteri.

Keberangkatan kali ini juga karena undangan adik ipar yang hendak menikahkan anak tunggalnya. Waktunya dipilih satu minggu setelah Lebaran depan. Sementara anak sulung saya tidak bisa berangkat karena isterinya sedang hamil tua anak keduanya. Dokter menganjurkan mereka sekeluarga tidak berangkat karena perjalanan panjang, dengan berbagai kemungkinan yang sulit diduga. Jangan sampai peristiwa melahirkan di atas pesawat -seperti diberitakan media beberapa waktu lalu- terulang lagi, Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saya dan anak bungsu yang mewakili.

Kami berdua saja yang akan mudik, dan karena menggunakan pesawat udara tentu saja tidak dikenal istilah macet dan lalu-lintas padat-merayap-susul-menyusul. Maka cerita mudik seperti itu tidak ada seru-serunya, datar saja, kurang heroik dan lancar. Maka lebih bagus bercerita mengenai kenangan seru seputar perjalanan mudik yang tak terlupakan.

*

Akhir tahun 1990-an kami satu keluar (saya, isteri dan tiga anak kecil/balita) numpang pada mobil kakak yang juga beranggota lima orang satu keluarga. Jadilah sepuluh orang dalam satu mobil jenis minibus (mesin di belakang). Sebuah mobil tua sehingga kekuatannya sudah jauh berkurang. Bila bertemu tanjakan saya dan dua keponakan lelaki yang sudah remaja harus buru-buru turun, agar mesin mobil kuat menanjak, dan tidak malah muncur. Pintu di dorong ke samping, dan kami turun buru-buru seperti penerjun payung yan berlompatan dari pesawat. Tanjakan Nagreg, dan tanjakan Gentong, harus dilalui dengan penuh perhitungan.

Setelah melalui tanjakan dan sampai di puncak mobil berhenti untuk menunggu tiga penumpang yang berlarian mengejar. Sampai beberapa kali hal itu terjadi dan selalu menjadi bahan tertawaan orang yang melihat maupun kami sendiri.

Begitu memasuki wilayah Jawa Tengah kondisi jalan relatif datar, sehingga tidak ada lagi acara turun-kejar berulang-ulang. Semua lega sampai kampung halaman dengan selamat sesuai rencana. Pulang ke Barat kami sudah bersiap-siap dengan keadaan yang sama,. Namun mengherankan sekali, mesin mobil seperti malu jadi bahan tertawaan. Ia meluncur lancar. Sampai di Tasikmalaya sempat singgah di masjid sambil beristirahat. Semua lancar, sampai di perempatan Kantor Bersama Bandung, mesin ngebul.

Cepat-cepat bagasi di belakang -yang diletakkan di atas mesin- di bongkar, dan tahulah kemudian adanya sebuah kelalaian. Air karburator tidak ditambahi, sehingga kering, dan mobil tua itu harus di derek ke bengkel.

*

Mudik itu sebenarnya peristiwa biasa saja. Pulang kampung, kembali ke keluarga besar di tanah kelahiran, atau apapun istilahnya. Itu dari kata 'kembali ke udik', dan disederhanakan menjadi mudik.

Namun dalam setiap mudik ada hal luar biasa, yaitu perjuangan dalam perjalanan hingga sampai ke kota asal. Perjuangan memang kata yang tepat. Sebab pada saat yang sama jutaan orang menggunakan moda transportasi yang sama: darat, laut, udara, dan kepolisian . . .. ehh, sepeda motor maupun onthel.

Pada minggu terakhir menjelang Lebaran biasanya sepeda motor menguasai jalan raya (kecuali jalan tol), di mana pun. Satu dengan lainnya saling beriring, bersilang, berbalapan, dan tak jarang saling senggol-seruduk dan tabrak.

Selain celaka karena ulah diantara mereka, tak sedikit para pengguna motor atau premotor (pengemudi dan pemboncengnya) justru yang terkena naas disambar kendaraan roda empat hingga roda dua puluh. Menjadi santapan empuk mereka ketika rem blong, pengemudi ngantuk, tanjakan atau turunan tajam, dan ngebut hingga kemudi sukar dikendalikan.

*

Saya suka mudik, seperti banyak orang lain melakukannya. Terlebih dulu ketika kedua orang tua masih ada. Namun ibu meninggal dunia pada hari kelima saya merantau jauh ke utara. Karena alasan ketidadaan biaya, dan waktu yang panjang bila  menggunakan angkutan laut, kami berencana pun tidak pernah. Selama tujuh tahun di tanah seberang dan kemudian berkeluarga di sana, saya tidak pernah mudik saat Lebaran.

Baru ketika kembali ke Jawa -di provinsi berbeda- saya mudik menjumpai bapak, serta untuk berkumpul dengan kakak dan adik-adik serta keluarga mereka. Sejak itu saya hampir selalu menumpang di kendaraan kakak, dan belakangan menumpang kendaraan adik dan kendaraan anak sulung untuk mudik ke Wetan. Selebihnya naik bus malam atau kereta api, karena berbagai pertimbangan.

Macet panjang di Brexit tahun 2016, saya dan rombongan mengalaminya. Adik yang menyetir ragu-ragu ketika mau keluar pada pintu tol sebelumnya. Jalan tampak lengang pada beberapa kilo, namun setelah itu macet parah. Tidak bergerak. Andai saja macet serupa di luar jalan tol masih punya pilihan untuk berheni di masjid atau tempat lain yang memadai untuk beristirahat. Tapi ini sudah terjebak pada pilihan sulit. Maju tidak mungkin, begitu pun mundur. Mau beristirahat atau mencari toilet, di jalan, kiri-kanan jalan dipagar kawat. Maka berbagai perasaan campur-aduk menjadi satu, tidak karuan.

Masih ada sejumlah kejadian lain yang menarik untuk diungkap namun situasinya tidak cukup mendukung. Saya ngantuk sekali, sesiang tadi antri di bank untuk ambil THR. Jadi soal mudik biarlah saya teruskan lain kali dalam kesempatan berbeda. Insya Allah.***7/6/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun