Tiap hari menulis untuk memenuhi target satu tulisan satu hari tidak mudah. Bukan hanya menulis, mencari ide tulisan dan kemudian merangkaikannya menjadi kalimat demi kalimat, tetapi bahkan ketika mencari gambar untuk mendukung tulisan. Sangat tidak mudah, perlu konssentrasi dan lama. Maka tidak mengherankan pada delapan tulisan pertama beberapa kali berhasil posting pada detik-detik menjelang tengah malam, sebelum hari berganti pada tantangan tulisan berikutnya.irkan memang terjadi
Dan apa yang saya khawatirkan terjadi juga, tadi malam. Karena kecapekan dan ngantuk, pada dua jam terakhir yang saya targetkan untuk dapat menulis --apa saja dan dengan semangat asal memenuhi kriteri tema yaitu  'romantisme keluarga di bulan puasa'- ternyata gagal. Saya tersungkur di sofa tanpa berdaya, didera lelap hingga satu jam lebih hari berganti. Ada rasa menyesal, tapi ya mau bagaimana lagi.
Maka saya teruskan tidur saya hingga satu jam jelang Subuh. Melakukan rutinitas sahur, lalu berjalan ke masjid untuk shalat berjalaah subuh, mendengarkan tausyiah salah seorang jamaah Masjid Babbussalam (Berarti pintu selamat. Nama salah satu pintu di Masjidil Haram di Mekah). Ia mengaku bukan seorang ustad, dan oleh karena itu ia hanya ingin curhat mengenai bagaimana usahanya membiasakan anak ikut mencintai masjid.
Kebiasaannya lima waktu ke masjid, mengikuti berbagai aktivitas, serta pergaulan dengan para jamaah yang lain. Masjid sendiri membuat berbagai kegiatan untuk anak-anak dan para remaja, terlebih pada bulan Ramadan. Ia mengajak para orangtua  untuk terus dan bersama-sama memotivasi anak masing-masing agar lebih  mencintai dan memakmurkan masjid.
Di rumah membaca Al Qur'an beberapa lembar, sebelum kemudian menambah jam tidur yang selalu berkurang pada malam hari.
Begitu bangun, lalu mandi sekitar jam 10 pikiran jadi segar. Dapat berpikri jernih, dan gagasan tuilisan itu baru muncul. Kenapa tidak menulis tentang kedatangan anak-mantu dan cucu yang ternyata dapat mewarnai s\hidup seorang kakek dan nenek? Padahal semalam --sebelum tengah malam- pun dapat ditulis-. Nah, semua itu tentu terkait dengan ilham.
Maka saya tuliskan sekarang.
Lumrahnya sebuah keluarga sangat mengharapkan memiliki anak, dan dari anak-anak akan  punya mantu, lalu keluarga mereka pun punya anak. Anak dari anak itu bersebut cucu.  Para kakek dan nenek mencurahkan kasih-sayang salah satunya kepada mereka. Namun rata-rata cucu sangat dekat dengan kakek-nenek ketika masih bayi, masih digendong-gendong. Setelah mulai besar dan apalagi ketika kedua orangtuanya sudah hidup di rumah tersendiri, cucu pun makin jauh dari kakek-nenek. Itu alamiah, dan bukan hal yang aneh.
Dalam agama pun diingatkan agar para anak tidak membuat orangtua mereka sebagai pengganti 'asisten rumah-tangga' dengan mengurusi semua keperluan si cucu. Meski seringkali karena rasa sayang itulah seorang nenek yang paling sering menggendong cucu. Padahal berat si bocah terus bertambah dari tahun ke tahun, sebaliknya kesehatan dan kondisi si nenek makin lemah dan rapuh.
Demikian, saya dan isteri (kedua, isteri pertama sudah meninggal) bergerak dari rumahnya ke rumah saya(ditinggali anak ketiga saya). Di rumahnya ada cucu dari anak pertamanya yang berumur sekitar enam bulan (total tiga cucu perempuan). Si cucu rewel kalaua tidak digendong, senangnya dibawa kemana-mana di sekitar rumah. Kami berangkat sekitar pukul 05.30 dengan menggunakan sepeda motor. Sampai di rumah saya, Â giliran anak pertama saya dengan isteri dan anaknya yang berusia empat tahun datang. Ia membawa beberapa oleh-oleh seperti biasa, juga sembako dan keperluan dapur.
Sesiang itu kami ngobrol dan melakukan apa saja untuk persiapan buka puasa. Isteri anak saya hamil anak kedua, kehamilan ke delapan. Insya Allah bulan depan setelah Lebaran, si bayi diharapka lahir. Dan itu berarti saya dan isteri --dan tentu juga besan- bakal tambah seorang cucu lagi. Mereka sudah periksa ke dokter , dan  anak kedua itupun perempuan. Mereka senang, apapun yang diberikan Allah merupakan anugerah yang besar. Dan tentu bagi kakek-nenek, memiliki cucu perempuan lagi pun tidak masalah.
Menjadi masalah tentu bagi seorang penggulat (Mahavir) yang sangat menginginkan salah satunya anaknya laki-laki. Cita-cita menjadi juara duni gulat belum kesampaian. Dan ia sangat inin mendidik anak lelakinya kelak menjadi penggulat tangguh hingga menjadi juara dunia. Tapi harapansia sia-sia. Neski sudah dengan berbagai cara berusaha, hasilnya nihil.
Empat anaknya  perempuannya. Hingga suatu ketika anak terbesar terlibat perkelahian dan berhasil mengalahkan seorang anak lelaki tetangga. Maka terbetik ide bapak yang dundah itu untuk mengajari anak pertama dan kedua menjadi penggulat. Kerja keras, perjuangan tanpa kenal lelah, tangis dan tawa, serta aneka hambatan datang silih berganti untuk dipecahkan. Hasilnya? Inspiratif sekali. Kalau penasaran dengan cerita dan ending film India itu lihat saja filmnya. Judulnya Dangal (dibintangi Aamin Khan).
Dan begitulah, jam demi jam berlalu.
Sibuk dengan anak-mantu dan cucu, mempersiapkan makan berbuka, dan ditambah lagi dengan menonton pertandingan bulutangkis Thomas Cup antara Regu Indonesia melawan regu Korea Selatan, maka makin asyik saja hidup saya hari itu. Intinya, saya melupakan salah satu target menulis. Ya, laptop saya teronggok merama di atas meja di kamar.
Setelah berbuka dan menyelesaikan kewajiban ke masjid, dan bahkan bahkan setelah shalat Isya dan tarawih berjamaah, pertandingan antara Kesebelasan Persib melawan Kesebelasan PSM sudah menunggu. Ini tontonan di layar Indosiar yang tidak boleh ditinggalkan. Alhasil jam 10 malam --pertandingan sepakbola belum selesai- baru kembali teringat untuk menulis. Lalu buru-buru memindah laptop ke depan televisi.Â
Api alangkah sulit mendapatkan bahan tulisan, sulit dan seperti buntu memikirkan apa yang akan ditulis. Hingga pertandingan sepakbola selesai. Saya masih menulis satu dua alinea tentang satu hal, lalu batal. Ganti nulis yang lain. Sampai kira-kira lima hal yang berbeda. Pikiran tetap buntu. Dan kantuk serta lelah menyerbu. Dan begitulah, seperti pada awal cerita ini. saya tersungkur di sofa dan melewatkan tengah malam dengan sangat lelap. . . . !
Padahal saya menuliskannya seperti ini saja, apa susahnya? Tidak sulit kok. Tapi entahlah, saat itu bahkan terpikir pun tidak.
Dan ini merupakan tulisan kedua yang telat. Tulisan pertama telat lantaran saya tidak berhasil memahami  ketentuan Kompasiana pada kategori, mestinya ditulis 'sub-kategori' (cerita ramlan, fiksi islami, atau sehat) saja bukan THR). Akibatnya sampai berulang-ulang tetap gagal posting, hingga tengah malam lewat. Nah.***24/5/2018
 Gambar
Baca tulisan sebelumnya:
- godaan-sumur-mengeraskan-bacaan-dan-madu-sumbawa
- cerpen-puasa-stamina-dan-kerja-berat-para-ibu
- puisi - aman-abdurrahman-hukum-mati-dan-gunung-merapi
- masjid-keraton-dan-kenangan-pada-km-kambuna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H