Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Undangan Bukber Seorang Kerabat

19 Mei 2018   22:39 Diperbarui: 19 Mei 2018   23:09 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hidangan rumah makan padang

Punya banyak teman selalu ada gunanya. Saling bantu, saling ingatkan, dan terlebih pada saat Ramadan saling traktir sekadar kolak dan es buah untuk berbuka. Begitu kata-kata yang diucapkan Indarwin sebelum mengajakku untuk buka bersama.

Kami teman akrab sejak pindah dari seberang pulau. Pernah satu rumah kontrakan, dan satu kantor pula meski beda bagian. Maka betapa senangku mendapatkan undangan itu, berarti buka puasa hari ketiga gratis, alias tidak perlu keluar uang. Sebagai bujangan, undangan seperti itu sangat berarti.

Ia datang ke ruangan setelah sholat Dhuhur berjamaah di masjid kantor. Seperti di seberang pulau dulu, kami selalu beda bagian. Namun sebuah kebetulan dapat pindah bersama-sama ke kota yang sama.

"Punya uang kamu?" tanyaku memastikan ia tidak main-main."Kalau cuma berbuka kolak dan es buah biarlah masing-masing saja di kamar kost. . .!"

"Jangan khawatir. Bulan muda begini dompet masih tebal," jawabnya sambil memperlihatkan dompet dan isinya. Ya, ajakannya cukup  meyakinkan. Indarwin memang terkenal tajir diantara kami, obyekannya banyak.

"Undangan untuk berapa orang nih?"

"Empat atau lima orang teman saja. Kebetulan ada rezeki, sedikit beramal untuk para dhuafa 'kan banyak pahalanya. . . .hehehe!"

Gaya bercandanya keterlaluan, tapi ini soal undangan buka bersama. Jadi tak perlu dipermasalahkan. Ia bilang akan menunggu di depan rumah makan padang dekat masjid raya di pusat kota. ya, siapa yang tak tahu rumah makan favorit itu.

"Rumah Makan Padang Salero?" tanyaku spontan sambil membayangkan aneka masakan berlemak serta es campur komplit yang bakal meredakan rasa lapar dan dahaga seharian.

"Kutunggu di depan rumah makan itu. . .!" ucap Indarwin seraya menyebut beberapa nama beberapa teman kami beda bagian yang telah diundangnya dan menyanggupi. "Kita berlima. Aku dengan anak dan isteri, Cukup dua meja, 'kan?"

Singkat cerita, setelah naik angkutan umur tiga kali ganti sampailah aku di rumah makan yang dimaksud Indarwin. Agak kecewa juga di depan rumah makin tidak ada siapa-siapa. Namun beberapa menit berdiri di sana tibat-tiba Indarwin keluar. Hampir saja keluar makianku, namun sekuat tenaga kutahan. Aku tak ingin nilai puasaku hilang.

"Ah, kukira kamu tidak datang. Tapi, aduh. . .!" ucapnya dengan nada murung.

"Kenapa? Mna isteri dan anakmu? Mana teman-teman kita?" firasat burukku rupanya betul.

 "Mereka batal datang. Kamu saja. Dan aku terlambat pesan meja. Sudah penuh, semua meja sudah dipesan. . . .!" ia memegang pundakku, lalu mengajak berjalan ke arah masjid raya. "Ada jalan keluar terbaik. Masih setengah jam adzan magrib, kita ke masjid. . .!"

"Takjil bersama? Kamu menipuku lagi, Win?" ucapku dengan nada meninggi. Tapi aku ingat sedang berpuasa, jadi sekali lagi tidak ada makian khas kami. Sebagai gantinya aku tertawa saja, sebab selalu dengan mudah dipecundanginya. Meski kesal, jengkel, dan setengah sakit hati, tapi aku mengikuti langkahnya juga.

Menyeberang jalan yang padat arus lalu-lintas. Lalu berjalan berdesakan ke arah masjid harus buru-buru agar tidak terlambat lagi. Benar saja ribuan orang sudah duduk saling berhadapan. Masih ada beberapa tempat yang kosong. Aku dan Indarwin cepat duduk. Dan lega.

"Sekadar kamu tahu, Win, aku belum pernah merasa seduafa ini dengan ikut makan takjil di masjid. Aku merasa ini bukan untukku. Tapi untuk orang-orang yang tidak mampu. Jadi terus-terang hari ini kamu telah mengecewakanku dua kali. Peristiwa ini akan kuingat seumur hidupku, Win. . .  !"

"Ya, kamu harus mengingatnya baik-baik. Bahwa kita sahabat, karib, kerabat. Apapun akan selalu seperti itu. . . . !" jawab Indarwin dengan tanpa perasaan bersalah.

Suasana ramai, riuh, dan menyenangkan sebenarnya. Rupanya bukan hanya fakir-miskin dan duafa saja yang duduk memenuhi ruangan belakang masjid yang sangat luas itu, Ada banyak orang-orang yang baru selesai berbelanja, orang-orang kantoran, dan para orangtua yang mengajak anak-anak bermain di rumput sintetis yang sangat luas di depan masjid.

Takjil dibagikan dengan cepat oleh beberapa petugas masjid. Satu dos kecil berisi tiga butir kurma, sebungkus roti isi coklat, sepotong resoles, nagasari dibungkus daun pisang, dan air kemasan.

"Alhamdulillah. . . !" ucapku begitu Adzan Maghrib bergema melalui speaker. Masjid besar yang berisi ratusan orang itu seketika lengang. Setiap orang sibuk minum dan makan takjil yang disediakan pihak masjid. Enak, nikmat, dan sangat memadai untuk berbuka. Segera setelah itu aku mengucap 'astagfirullah' telah berburuk sangka pada takjil yang disediakan masjid. Itu semata pendapatku yang kerdil dan kurang pengalaman. Indarwin membukakan mataku untuk sesuatu yang belum pernah kualami: berbuka puasa dengan ratusan kerabat muslim-muslimah pada masjid yang sama. 

*

Begitu selesai sholat Maghrib berjamaah, lalu berdoa singkat saja, aku buru-buru berdiri meninggalkan Indarwin. Ia berada pada shaf di depanku. Jadi aku leluasa untuk menghilang. Ya, tidak ada lagi yang perlu dilakukan dengannya. Aku masih punya sejumlah uang untuk makan di warteg. dan sisanya untuk naik angkutan umum pulang ke kost.

Untuk sampai ke terminal angkutan umum aku kembali lewat depan Rumah Makan Padang Salero, aku menunduk saja tak menengok-nengok hidangan di rumah makan yang sejak siang kuimpikan. Sakit dada ini. Ulah kerabat yang tak tahu diri itu membuat puasaku pada hari ketiga ini jadi kurang afdol rasanya.

Tiba-tiba seseorang menghalangi langkahku. Aku bergeser ke kiri ia juga ke kiri, bergeser ke kanan diikuti juga. Terpaksa aku menengadah, dan ah. . . . "Pak Rahmanu? Kebetulan kita bertemu di sini, Pak. . . !"

"Dimana Indarwin, Nak.. . . .?" tidak menjawab pertanyaanku, ayah Indarwin itu malah ganti bertanya sambil melihat-lihat ke seberang jalan. Aku pernah bertemu dengannya sekali ketika di bandara menjemput Indarwin.

Tak lama muncul Indarwin yang terus memanggil-manggil namaku.

"Ohh, itu dia sudah datang. Ayo, Nak, yang lain sudah menunggu di dalam. . . . !" ujar Pak Rahmanu sambil memegang lenganku mengajak masuk rumah makan itu. Indarwin mengikuti di belakang dengan tergesa.

Aku tercengang, tak mampu berkata-kata. Lalu mengikuti saja langkahnya. Dan di dalam dua meja panjang sudah disatukan dengfan aneka hidangan khas rumah padang tersedia lengkap di sana. Aku terpesona, mungkin tanpa sadar air liurku sudah meleleh. Lima orang teman yang diundang Indarwin sudah ada di sana, Pak Rahmanu, serta beberapa orang lain yang belum kukenal. Seorang ibu dan seorang gadis. Mungkin mereka keluarga Indarwin. Aku tak mampu menutupi rasa  bersalahku oleh sikap yang tak semestinya. Aku merasa terjebak oleh perasaanku sendiri: sangat mudah berburuk sangka.

Setelah semua duduk, Indarwin memperkenapkan keluarganya pada teman-teman kantor, dan sebaliknya memperkenalkan teman kantor pada keluarganya. "Ini perayaan ulang tahun adikku, Ainaya, keberapa? Nanti tanya sendiri. Tidak ada tiup lilin dan potong kue. Itu bukan kebiasaan kami. Buka bersama saja."

Gadis langsing lesung pipi itu berdiri dan tersenyum pada semua dengan gigi putih dan mata bermerlang. Ia berjalan memutari meja untuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan undangan.

 "Undangan khusus untuk Mas Nurjito, satu-satunya jomblo dari teman-teman akrabku di kantor yang kuundang sekarang. Ia teman akrab selama di perantauan, dan ingin kuperkenalkan dengan adikku. Mungkin saja mereka bisa berteman, seakrab kekerabatanku dengannya selama ini!"

Tidak ada kata-kata lain. Langsung doa oleh salah satu teman kantor, dan makan. Makanan dan minuman rumah makan padang itu benar-benar seperti dugaanku, tak mudah untuk tidak mengatakan 'luar biasa'. Namun lebih dari itu semuanya menjadi biasa-biasa saja setelah Indarwin memberi kursinya untuk kududuki, dan kursi itu persis di samping tempat duduk adiknya Ainaya.

"Mudah-mudahan peristiwa ini diingat Nurjito seumur hidup. Seperti dikatakannya tadi di dalam masjid dengan penuh perasaan kepadaku. . . .!" ucap Indarwin dengan bernada ejekan.

Aku hanya dapat menutup wajah. Kurasa panas wajah ini. Aku sama sekali tidak menduga, ini cara Indarwin untuk memperkenalkanku dengan adiknya yang sangat cantik itu.***19/5/2018

 Gambar

Simak tulisan sebelumnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun