"Ah, kukira kamu tidak datang. Tapi, aduh. . .!" ucapnya dengan nada murung.
"Kenapa? Mna isteri dan anakmu? Mana teman-teman kita?" firasat burukku rupanya betul.
 "Mereka batal datang. Kamu saja. Dan aku terlambat pesan meja. Sudah penuh, semua meja sudah dipesan. . . .!" ia memegang pundakku, lalu mengajak berjalan ke arah masjid raya. "Ada jalan keluar terbaik. Masih setengah jam adzan magrib, kita ke masjid. . .!"
"Takjil bersama? Kamu menipuku lagi, Win?" ucapku dengan nada meninggi. Tapi aku ingat sedang berpuasa, jadi sekali lagi tidak ada makian khas kami. Sebagai gantinya aku tertawa saja, sebab selalu dengan mudah dipecundanginya. Meski kesal, jengkel, dan setengah sakit hati, tapi aku mengikuti langkahnya juga.
Menyeberang jalan yang padat arus lalu-lintas. Lalu berjalan berdesakan ke arah masjid harus buru-buru agar tidak terlambat lagi. Benar saja ribuan orang sudah duduk saling berhadapan. Masih ada beberapa tempat yang kosong. Aku dan Indarwin cepat duduk. Dan lega.
"Sekadar kamu tahu, Win, aku belum pernah merasa seduafa ini dengan ikut makan takjil di masjid. Aku merasa ini bukan untukku. Tapi untuk orang-orang yang tidak mampu. Jadi terus-terang hari ini kamu telah mengecewakanku dua kali. Peristiwa ini akan kuingat seumur hidupku, Win. . . Â !"
"Ya, kamu harus mengingatnya baik-baik. Bahwa kita sahabat, karib, kerabat. Apapun akan selalu seperti itu. . . . !" jawab Indarwin dengan tanpa perasaan bersalah.
Suasana ramai, riuh, dan menyenangkan sebenarnya. Rupanya bukan hanya fakir-miskin dan duafa saja yang duduk memenuhi ruangan belakang masjid yang sangat luas itu, Ada banyak orang-orang yang baru selesai berbelanja, orang-orang kantoran, dan para orangtua yang mengajak anak-anak bermain di rumput sintetis yang sangat luas di depan masjid.
Takjil dibagikan dengan cepat oleh beberapa petugas masjid. Satu dos kecil berisi tiga butir kurma, sebungkus roti isi coklat, sepotong resoles, nagasari dibungkus daun pisang, dan air kemasan.
"Alhamdulillah. . . !" ucapku begitu Adzan Maghrib bergema melalui speaker. Masjid besar yang berisi ratusan orang itu seketika lengang. Setiap orang sibuk minum dan makan takjil yang disediakan pihak masjid. Enak, nikmat, dan sangat memadai untuk berbuka. Segera setelah itu aku mengucap 'astagfirullah' telah berburuk sangka pada takjil yang disediakan masjid. Itu semata pendapatku yang kerdil dan kurang pengalaman. Indarwin membukakan mataku untuk sesuatu yang belum pernah kualami: berbuka puasa dengan ratusan kerabat muslim-muslimah pada masjid yang sama.Â
*