Sekitar dua bulan Mas Amin Kartamin tidak pernah singgah di pos ronda. Siang ini tiba-tiba ia muncul dengan penampilan baru. Wajah, senyum, potongan rambut, hingga pakaian yang dikenakan serba beda, dan seperti baru. Baru keluar plastik dari dalam dos. . . hehe. Yang jelas, ia tidak lagi seperti penampakannya dulu. Sebagai tukang ketoprak dulu ia  berpakaian serba sederhana, bertopi kain bulat menutupi kening, dan ada handuk kecil tersampir di pundak. Kini Mas Amin serupa pekerja kantoran.
Entah bagaimana awalnya, tapi Mas Amin tampak sangat percaya diri. Wajahnya dipasang beribawa, meski senyum manis tak ketinggalkan, dan gaya bicaranya sudah berubah. Ketika bertemu dengan Mbak Murwo seperti ragu-agu dan hendak menghindar, namun si janda penjual lotek dan jamu agresif dengan lebih dahulu menyapa.
"Waduh, Mas Amin, kok tumben baru muncul? Tambah keren nih. . . .!" goda Mbak Murwo yang membuat  si lelaki salah tingkah.
"Terima kasih. Mbak Mur juga makin kinclong. Digosok pakai amplas ya. . . .?"
"Bukan. Pakai gerinda. . . . hehe."
"Ngomong-ngomong, ada perubahan apa nih?"
Mas Amin duduk di bangku kayu, dan dengan isyarat tangan ia memesan seporsi lotek. "Perubahan pasti ada. Berhenti mendorong gerobak ketoprak, aku didapuk jadi orang partai."
"Wow. Hebat, hebring euy. . Â . .!"
"Penampilan harus selalu keren. Kayak orang kantoran. Rapi, necis, dan wangi. . .!"
"Tidak seperti penjual ketoprak keliling ya?" tanya Mak Murwo sambil meladeni pesanan lotek seporsi.
Mas Amin tertawa. "Ini sekaligus latihan. . . . !"