Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bermain Catur, Botram, dan Rumah Sakit Jiwa (2)

13 April 2018   01:38 Diperbarui: 13 April 2018   01:54 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kang Mubeni dan Wak Ja'far yang mendengar celoteh Bu Tin menengok. Itu sudah permainan kedua dengan kedudukan sama kuat, satu -- satu. Adu cerdik di atas papan catur pun makin tegang. Begitulah kalau dua orang pecatur dengan kemampuan seimbang menghadapi papan catur. Mereka saling mengalahkan tergantung buah yang dipegang. Siapa pegang buah putih diiringi penyerangan dan strategi jitu besar kansnya untuk menang.

"Bu Tin ini seperti pemain catur saja. Pinter sekali bermain strategi, serang-sana serang-sini, bikin heboh, lalu bersembunyi. . . . hehehe!" komentar Kang Murbani setelah menggeser menteri.

"Barangkali menghadapi permainan Mas Bejo di balik kelambu pun begitu strateginya ya?" tambah Wah Ja'far sambil memajukan bidak yang terancam.

"Main strategi? Itu memang politik rumah-tangga, Bro. Kalau jomblo tidak perlu strategi-strategian. Hehehe. . .!" jawab Bu Tin.

"Sudah. . . ., sudah. Jangan ngomongin rahasia di balik kelambu. Nanti dikira ngerumpi mesum. . . . ," ucap Mak Fatmah dengan suara lirih. Diam-diam ia menggamit lengan teman ngobrolnya itu. Ia melihat ada orang yang akan datang. "Nah, sekarang ngobrol soal lain saja. Misalnya kenapa Mbak Murwo masih betah menjomblo. Padahal ada Kang Murbani dan Wak Ja'far yang nganggur. . . . hehehe!"

*

Terik matahari meredup cepat, langit tersaput mendung. Angin bertiup lumayan kencang. Ada dua kemungkina terjadi, hujan segera turun, atau sebaliknya mendung terapu angin menjauh.

Ancaman mendung tak menyurutkan langkah Yu Lik, dan Nek Nurla untuk mencari teman botram. Bersamaan dengan itu muncul seorang ibu muda mengendarai motor. Penampilannya layak lirik. Terlebih bagi para jomblo. Betapa tidak, perawakannya semampai, berkulit terang, dengan kerudung tidak rapat menyisakan rambut tebal di atas dahi.

Spontan Kang Murbani dan Wak Ja'far melirik, dan diteruskan dengan menoleh terang-terangan. Bibir keduanya bersuit-suit tanpa sadar. Lalu mereka saling mengedipkan mata, dan mengacungkan jempol. Mereka mengabaikan suasana genting di papan catur. 

"Boleh saya gabung di sini ya, Ibu-ibu. . . .?" ucap Bu Katrina dengan suara merdu, "Saya warga baru di ujung kompleks. Perlu kenal warga di sini. . . . !"

"Oh, silakan. Kami sedang botram nih. . . .!" jawab Mak Fatmah. Ibu-ibu lain mengangguk. Lalu bersalaman. Mereka menguasai satu meja untuk sambil ngobrol apa saja yang melintas di kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun