Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kucing, Nasib, dan Wahyu Sapta Rini

9 April 2018   11:59 Diperbarui: 9 April 2018   22:40 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kucing peliharaan lelaki tua | thespruce.com

Tujuh
Hampir lima puluh tahun berlalu, dan cerita itu masih sangat jelas dalam bayanganku. Tiga sosok yang belakangan sama-sama suka kucing, yaitu Mbak Safrini, kemudian kakakku Kang Saptaji, dan bahkan pacar kakakku yang bernama Triwahyu.

Sesekali bila pulang menjelang Lebaran, atau saat ada keperluan keluarga di kampung, kami dapat saling beranjangsana dengan cerita masa lalu yang bikin malu.

"Jadi betul kucing-kucingmu sakit perut bila dikasih makan ikan asin, Jeng?" tanyaku dengan polos. Safrini yang sudah jadi peot dan kurus dengan kerudung warna kusam itu hanya tertawa. "Aku bohong, Dik. Aku cuma mau menggodamu. Tapi lantaran kamunya terlalu terpesona melihatku jadinya kehilangan kata-kata untuk  membantah.Heheh!"

Kakakku Saptaji gagal menikah dengan pacar pertamanya Triwahyu. Bertahun-tahun kemudian tiga orang itu dengan pasangan hidup masing-masing saling berteman saja. Mereka dipersatukan karena kesamaan hobi: memelihara kucing.

"Jadi bagusnya bagaimana ending cerita kita itu, Kang?" tanyaku pada Kang Saptaji, suatu hari. Ia menggeleng. Lalu kutanyakan pada Mbak Safrini pertanyaan yang sama. Ia mengerutkan kening, dan tidak segera berucap sepatahpun. Akhirnya kudesakkan pada Triwahyu yang sedang menyeruput air jeruk panasnya. "Coba ulangi lagi pertanyaanmu, Dik." Kuulang, tapi ia pun tak mampu menjawab.

Sampai lewat pukul 23.00 ending belum juga kudapat. Tiga nama fiktif itu pun tidak memberi gambaran apapun. Aku bingung, waktu terasa merambat semakin cepat. "Kami ikhlas kalau nama-nama kami ini kamu jadikan nama kucing-kucingmu! Itu ending ceritamu." ujar Kang Saptaji kemudian dengan wajah terkejut sendiri. Mbak Triwahyu yang tampak sangat sepuh menyela:  "Tapi ia hanya punya seekor kucing  .!"

Aha, ending sudah kutemukan. Sederhana saja, bukan hal mengejutkan. Seekor kucing kampung warna putih, hitam, abu-abu miilikku. Bukan kucing persia atau anggora. Ia kuberi nama kombinasi tiga nama yang kuciptakan: Wahyu Sapta Rini. Ya, itu. Nama yang cantik. ***

Bandung, 1 -- 7 April 2018

 Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun