"Masih banyak cewek lain yang dapat dikejar, Kang, Kenapa hanya pacar yang suka nyanyi tapi nempel pemain basket yang jadi pikiranmu?" kutanya Kang Saptadi suatu hari, saat kulihat wajahnya rusak betul, hancur, dan kedodoran. Ya, sulit menggambarkan orang patah hati yang tidak klise. Jadi biarlah begitu saja. Wajah dan penampilannya --meniru ungkapkan Pak Beye- "Memprihatinkan!". Kalau begini terus suasananya --mengutip ucapan Mas Capres dua kali- pasti "Bubar."
"Kamu tahu apa tentang perasaanku. Ini soal cinta. Jangan kamu berkomentar sembarangan. Umurmu belum sampai, dan kamu juga belum pantas untuk sok tahu soal cinta orang-orang dewasa. . .. !" ucap Kang Saptadi dengan kalimat yang runcing dan coba mengenai perasaanku. Tapi aku 'kan masih bocah. Tak ada perasaan apapun dengan kata-kata itu. Sebaliknya kakakku agak terpesona ketika kubisikan angin surga di telinganya. "Kuperkenalkan kakak dengan tetangga baru yang cantik itu. Namanya Mbak Safrini. Hobinya memelihara kucing. . . ., Mau, Kang?" ia tampak acuh-tak-acuh saja. Tapi. . .oh, aku terkecoh. Tidak sampai seminggu -tanpa setahuku- Kang Saptadi sudah menyelonong sendiri ke rumah tetangga itu. Nasib.
Lima
Ini cerita jadi agak kurang enak bila dirasa-rasa. Yang pertama kali jatuh hati siapa, yang datang kemudian dengan lagak sok jadi Arjuna siapa? Begitu hari-hari ini aku menangis perih, tapi sekaligus tertawa geli hingga tersedak-sedak. Menangis sebab bidadariku direbut orang. Tertawa sebab alangkah beda antara sang bidadari dengan sang Arjuna dalam penampakannya.
Pada bagian terdahulu sudah kusinggung, perawakan kami dari keluarga, kalau dimisalkan ayam termasuk jenis kate. Tubuh kami tinggi sekali jelas tidak, tetapi pendek sekali ya hampir. Segitu-gitunya memang. Jadilah Kang Saptadi agak mendongak ketika suatu hari kupergoki mau coba-coba menggunakan rayuan gombalnya berdalih perkara kucing dengan segenap 'bla bla bla'-nya yang tanpa dasar itu.Â
Sejak kecil ia hanya suka pada ayam, angsa, dan itik. Kesukaan yang disebabkan lebih pada cita-rasa mereka setelah terhidang di atas piring. Kucing jelas tidak. Jadi bagaimana mungkin ia memaksanakan pendapat dengan menyetarakan satwa berkaki empat dengan yang berkaki dua itu? Aneh 'kan?
"Mereka memang dari jenis yang berlainan. Tapi kalau dari ukuran perilaku asmara, tidak jauh-jauh berbeda kok. Coba perhatikan saat sepasang kucing dilanda asmara, lalu ayam jago ketika didera cinta. Sama-sama menyebalkan. Ribut, bising, dan bikin pusing. . . . !" ucap Kang Saptadi gagap dan kaku yang kudengar dari balik tembok. Aku tertawa saja sendiri, pelan-pelan. Lalu muncul perlahan-lahan dengan terbatuk-batuk buatan. Oh, rupanya kakakku sendirian saja, sedang latihan 'nembak'. Mbak Safrini bidadariku tidak ada di situ.
Mengetahui aku mengintipnya, spontan Kang Saptadi naik pitam. Ia mengejarku lalu menyiram dengan air segayung yang tadi akan digunakannya untuk mengusir sepasang kucing yang riuh-rendah sedang memadu asrama. . . . ehh, asmara. "Nah, rasakan itu hukuman mandi basah bagi si penguping tak tahu diri," geramnya padaku. Aku pun basah kuyup. Nasib.
Enam
Tidak gampang, dan memang sulit. Itulah keluhan Kang Saptaji padaku dengan tidak berterus terang. Ia cuma berdalih, memelihara kucing itu perlu nyali dan hati. Perlu nyali dari cakar, gigitan, penyakit yang kemungkinan ditularkan, dan rengekannya. Dan perlu hati, sebab harus mau berbagi. Merawatnya  butuh kesabaran dan juga biaya yang tidak murah.
Pasti saja aku tidak setuju dengan pengetahuannya yang picik itu. Kujawab, kecuali pada kotoran dan kencingnya, kucing itu steril, sehat, tidak membawa bibit penyakit. Penelitian medis sudah menyebutkan itu. Air liurnya, bulunya, dan kukunya. Tidak.
Dan Kang Saptaji hanya terkekeh menandai ia mengaku kalah. "Mbak Safrini terlalu cantik untuk kupacari. Apa kata orang nanti? Orang hitam, pendek, jelek dan bodoh seperti aku kok bisa memacari bidadari, pasti pakai ilmu hitam, pakai jampi-jampi, menggunakan cara-cara kotor. . . Nah, 'kan malah bikin orang ber-suudzon. Maka biarlah aku kembali pada pacar lamaku.
"Lho memang pemain basket itu kemana?" tanyaku dengan keheranan. Kang Saptaji tak menjawab. Aku mendesaknya. "Mantan pacarmu sudah putus dengan si pemain basket?" Kang Saptaji menghadapkan wajahnya padaku lekat-lekat, dan menjelaskan. "Mereka memang tidak pernah berpacaran. Aku saja yag terlalu cemburuan. Aku sudah minta maaf. Dan Triwahyu memaafkanku. Senangnya. Minggu depan kami sudah bisa jalan bareng lagi, Berhaha-hihi di toko buku, mampir di batagor Mang Ihsan, makan angin di Jalan Asia-Afrika. . . .!" Â Aku bersorak. Aku membatin dalam hati. Kalau begitu aku boleh kembali memuja bidadariku dong? Boleh ya, meski tidak bisa memacarinya 'kan? Nasib.