Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kucing, Nasib, dan Wahyu Sapta Rini

9 April 2018   11:59 Diperbarui: 9 April 2018   22:40 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kucing peliharaan lelaki tua | thespruce.com

Satu
Aku tidak tahu sejak kapan mulai menyukai kucing. Rasanya tiba-tiba saja. Dulu aku tidak suka, ini terus terang. Dan memang aku tidak suka memelihara hewan peliharaan apapun. Banyak alasannya. Bikin tambah kerjaan saja, tidak cukup punya waktu dan perhatian, dan terutama malas serta tidak ingin menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak kusenangi.

Nah, itu. Lalu muncul tiga ekor kucing dengan warna berbeda --kombinasi hitam, putih, coklat-, dengan umur berbeda, tapi mereka seperti kakak beradik. Atau jangan-jangan mereka bapak dan emak serta satu anak. Aku tidak tahu persis dan sulit menduga-duga. Lalu aku iseng-iseng bertanya. "Boleh tanya ya? Kalian masih bersaudara, atau orangtua dan anak?"

Tidak ada satu pun yang menjawab. Sampai kemudian kubelikan ikan asin di warung tetangga. Lalu kugoreng, dan kusajikan buat mereka. Baru mereka bilang, "Terima kasih, Mas. . .!" Sampai aku kaget, tiba-tiba saja. Apa betul mereka bisa bicara? Oh, rupanya Mbak Safrini yang bicara. "Itu kucing-kucingku. Mereka akan sakit perut kalau diberi makan ikan asin. . . .!" Aku menutup muka, malu. Maksud hati mau berbuat baik, tapi malah dibuat malu. . . .! Nasib.

Dua
Tapi tentu ada hikmah dibalik malu. Ada. Tuhan Maha Penyayang, dan tahu persis apa kebutuhanku. Tuhan dengan caranya mempertemukan aku: bujangan jomblo, alias perjaka sendirian, atau kasarnya lelaki kurang modal sehingga dijauhi para gadis, dengan seorang bidadari yang tak bersayap, namun langkah kaki dan ayunan tangannya saat berjalan, melenggang anggun laksana melayang, tidak menyentuh bumi.

Mbak Safrini tetangga kami. Ia orang baru di kompleks perumahan kami. Mungkin ia anak seorang saudagar jengkol atau juragan oncom. Persisnya tidak tahu sih. Tapi tampaknya dari keluarga kaya. Ya, minimal senyumnya itu cerah banget. Pasti tabungannya banyak, setidaknya masa depannya sangat gemerlap.

Lalu kubayangkan, kalau saja ia mau jadi pacarku. Ah hay. . ., melambunglah angan dan pikiran indah ini. Lewat tiga ekor kucing yang tersesat di depan rumah orangtuaku yang rimbun dengan tanaman hias, anggrek, serta bunga-bunga lain.  "Kalau suka memelihara kucing, nanti saya beri kucing yang lain ya?" Aku hanya bisa mengangguk. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, putih-abu-abu. Sedangkan aku, aduhh.. baru sadar nih: masih berseragam putih -- merah darah. Nasib.

Tiga
Tinggalkan cerita mengenai kucing, dan cari cerita yang lain saja. Oya, tapi pada paragraf pertama sudah kadung mengaku tiba-tiba menyukai kucing. Jadi bagaimana ini mau berkelit?

"Suka itu perlu proses. Harus tahu dulu kenapa harus suka, Lalu apa atau siapa yang disukai, bagaimana rasanya suka, dan terakhir bagaimana mewujudkan suka? Itu proses. Jadi perlu waktu pula. Tidak bisa instan. . . . .. . . !" ujar kakakku Saptadi.

Kakak itu mencontohiku tindakannya yang menyukai gitar lantaran pacarnya anak seorang pemain band, dan si pacar gemar betul menyanyi. Kemana-mana menyanyi. Kalau ada mike nganggur berasa gatal-gatal kalau tidak segera memanfaatkannya untuk menyanyi. Maka Kang Saptadi ikut kursus menggitar. Hasilnya lumayan, dari sebelumnya pegang gitar dengan tangan gemetar sehingga suara yang keluar sember, kemudian mampu membuat senar si gitar mengeluarkan nada-nada romantis yang lumayan merdu di telinga dan manis.

Hanya sayang setelah Kang Saptadi mulai gila main gitar, pacar itu lari dan lengket pada kawan beda kelas yang jago basket. Tentu tidak ada lagi yang bisa dikejar, sebab keluarga kami diberi kelebihan bertubuh pendek, berkulit hitam, dan terbiasa hidup sederhana. Menjadi joki balap kuda mungkin jago, atau menjadi pemanjat pohon kelapa, tetapi main basket jelas bakal kelangkahan pemain lain. . .! Nasib.

Empat
Rindu, patah hati, dan putus harapan karena ditinggal pacar itu hanya cocok untuk dibikin sinetron. Atau dibuat cerita film layar lebar. Seperti cerita Romi dan Yuli yang lawas banget itu, atau Galih dan Ratna, si Doel dan Zainab, kemudian Dilan dan Milea. Hanya nyaman jadi tontonan, tapi sama sekali tidak bagus untuk jadi pengalaman pribadi. Cuma memang siapa sih yang tidak pernah patah hati? Siapa yang tidak merasa tersentuh oleh lirik lagu 'bertepuk sebelah tangannya'-nya Once?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun