Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kebencian Abu Lahab Melekat pada Diri Mas Amin (2)

30 Maret 2018   13:57 Diperbarui: 30 Maret 2018   14:14 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya; cerpen-kebencian-abu-lahab-melekat-pada-diri-mas-amin-1

Menjadi tukang kredit perabotan dapur gagal. Sejak itu Mas Amin Kartamin pindah-pindah pekerjaan, lalu berganti-ganti usaha. Akkhirnya mantap berjualan makanan kesukaannya: ketoprak. Alasannya sederhana saja. Bila dagangan tidak laku dapat dibagi-bagikan kepada para tetangga, dan sisanya dimakan sendiri sampai habis. Alasan lain, ketoprak itu gampang dibikin, murah harganya, enak rasanya, dan banyak yang suka.

Sepengetahuan Mas Amin yang asli Wetan, bahan-bahan membuat ketoprak merupakan kombinasi berbagai makanan lain, diantaranya lotek, kupat-tahu, gado-gado, soto, bakso, dan mungkin juga karedok. Semua jenis makanan dicampur menjadi satu, dan disiram bumbu kacang, ditambah kerupuk. Maka jadilah makanan itu. Enak, sedap, mengenyangkan, dan membuat ketagihan.

Cara berdagang Mas Amin yang semula berkeliling mendorong gerobak, dua bulan terakhir mangkal di dekat pos ronda. Sesuai kesepakatan bersama beberapa pedagang lain ia membersihkan, tidak merusak taman, dan memberi sedikit iuran untuk perawatan pos ronda.

*

Penjual dan pembeli silih-berganti memanfaatkan taman dan halaman seputar pos ronda di kampung Kalajengking itu. Siang hari giliran Bu Tin, Mak Fatmah, dan Mbak Murwo yang berada di pos ronda. Mas Amin tidak kesepian sebab ada teman ngobrol dan bercanda. Dagangan tinggal sedikit, sebentar lagi pulang.

"Dari pada dagangan dibawa pulang lebih baik kita tukeran, Mas," ucap Mbak Murwo menawarkan diri.

"Tukeran? Barter? Aku minum jamumu, kamu makan ketoprakku?"

"Persis. Itupun kalau Mas Amin tidak keberatan.. . . .!"

Bu Tin dan Mak Fatmah tertawa mendengar dialog itu. Keduanya saling mengedipkan mata. Lalu jari telunjuk Bu Tin ditempelkan ke bibir yang terkatup.

"Ciyeee. . . .ciyeee. Barter nih yee. . . .!" sindir Mak Fatmah, gatal kalau tidak berkomentar.

"Jangan suka nolak, Mas Amin. Terima saja. 'Ora ilok' alias pamali. Tarawaran begitu biasanya ada kelanjutannya. . .  hehehe!" ucap Bu Tin menggoda.

"Untung Mas Amin baru punya dua 'kan?  Masih boleh nambah lho. . . . !" sambung Mak Fatmah sambil tersenyum, setengah mencibir.

Mbak Purwo berlgak marah. Wajahnya dibuat sangar. "Ah, ibu-ibu ini terus menjurus ke situ lho. Emangnya saya mau dijadikan yang ketiga ya?" sergah Mbak Murwo dengan suara sengaja dikeraskan.

Mas Amin Kartamin hanya tertawa saja tanpa berpikir apapun. Ia diam-diam meracik ketoprak, dan membungkusnya dengan cepat. Lalu diserahkan kepada Mbak Murwo. "Ini dua bungkus ketoprak, sekalian untuk anak-anak di rumah. Sambelnya dipisah. . . .!" Mbak Murwo mengangguk dan menerima bungkusan itu dengan sangat senang. Ia pun segera meracik segelas jamu sehat lelaki komplit. Lalu diserahkan kepada Mas Amin.  "Ini kubuat khusus untuk Mas Amin, Pakai telur ayam kampung, madu, dan jamu seduh sehat lelaki. Supaya nanti pulang ke rumah dua isteri terlayani dengan baik. . . . hehe!"

Giliran Mas Amin senang, dan diperlihatkan dengan mengacungkan jempol. Bu Tin dan Mak Fatmah balas mengacungkan jempol, lalu digoyang-goyangkan.

"Nah begitu, sesama pedagang harus kompak. Ini memberi contoh pada kita semua, juga contoh untuk para ustad-ustadzah, para pemimpin, para politikus, seniman-budayawan-biduan. Semua kompak. Tidak boleh saling iri dan benci. Apalagi saling fitnah dan caci-maki. Biarlah sifat pembenci dimiliki oleh Abu Lahab dan Abu Jahal saja.. . . .!" ucap Bu Tin sok menasihati.

"Ada satu lagi yang punya sifat pendengki yang belum disebut, Bu. . .!" sahut Mas Amin spontan.

"Siapa?" tanya Mbak Murwo sudah terlalu yakin bahwa namanya bakal disebut.. "Jangan sebut namaku ya. .  .?" 

"Musailamah Al Kadzab. Si nabi palsu. . . . . !" ucap Mas Amin kalem. Sejak dinamai orang sebagai Abu Lahab, Mas Amin rajin memperhatikan ceramah para Ustad terutama yang mengenai para pendusta pada zaman Rasulullah. Ia tidak ingin seperti mereka. Tapi sakit hati karena disebut meyerupai Abu Lahab sudah terlanjur sukar diobatan   

Mbak Murwo terkecoh, malu. Bu Tin dan Mak Fatmah tersenyum melihat tingkah dua orang itu.

Sudah lama Mbak Murwokanti naksir Mas Amin Kartamin. Perempuan itu janda muda dengan dua anak usia balita. Konon dulu ia kembang desa. Pantas saja jadi rebutan para perjaka. Namun sial, lelaki yang dipilih untuk jadi suaminya justru si tukang judi. Tak sampai dua tahun rumah-tangganya buyar. Ia tercampak, dan rela ikut terjerat utang. Terpaksa ia nekat merantau, dan menjadi menjual jamu. Sedangkan Mas Amin meski usia jelang lima puluh masih tampak awet muda. Ia kurus dengan kumis tipis, dan jika tersenyum rasa-rasanya banyak perempuan kepincut, seperti tersihir. Mas Amin tidak menanggapi gurauan, permintaan, dan apalagi rayuan Mbak Murwo. Ia tahu diri, isterinya sudah  dua, anak tujuh orang.

*

Sebulan kemudian kejadian heboh melanda warga pinggiran kota. Bang Safril tewas mengenaskan. Mayatnya ditemukan di aliran anak sungai Citarum, belasan kilometer dari tempatnya bermukim.

"Bagaimana? Sudah meninggal, Pak?" tanya Polisi di atas tebing. Kerumunan orang makin banyak. Semua melongokkan wajah ke dasar sungai, di bawah rerimbunan rumpun bambu. Lelaki itu tampak tersandar di bantaran sungai, terendam air kotor, tersangkut akar bambu

Seorang lelaki pemulung yang biasa menyusuri sungai untuk mencari rongsok dan besi tua mendekati mayat yang baru saja ditemukan. Ia menjawab dengan berteriak, "Membusuk. Pak. Mungkin sudah tiga atau bahkan seminggu. . .!"

Seorang warga tanpa ditanya memberi kesaksian: "Pada banjir kemarin mayat itu belum terlihat. Mungkin semalam, meski banjir tidak terlalu besar mayat itu terbawa air!"

"Sejauh ini apa tidak ada warga setempat yang menghilang?" tanya Pak Polisi kemudian.

"Tidak ada laporan, Pak. Tapi warga di sini rata-rata perantau. Jadi sering warga tidak saling tahu ada-tidaknya tetangga sebelah rumah kita.. . . !"

"Jadi mungkin warga perkampungan di atas sana ya?"

Seorang lelaki setengah tua datang terburu-buru. Ia seperti takut terlambat.

"Nah, ini Pak Ketua RT yang bisa memberi keterangan. . . .!" ujar si warga seraya mempersilahkan Den Prabu mendekat. "Ini Ketua RT-nya, Pak Polisi. Nama panggilannya Den Prabu. Nama aslinya Deden Permana Budi.. . . . hehe!"

Jenazah segera dievakuasi. Dimasukkan ke dalam kantung mayat, dan diusung dua orang sukarelawan menggunakan potongan bambu mendaki tebing dengan susah-payah. Hari itu juga jenazah dibawa ke rumah sakit daerah terdekat untuk dilakukan outopsi. Hasilnya gamblang, dari ciri-ciri tubuh dan kesaksian keluarga yang kehilangan anggota keluarga, korban tak lain Bang Safril. (Bersambung)

Bandung, 30 Maret 2018

Gambar:Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun