*
Sebulan kemudian kejadian heboh melanda warga pinggiran kota. Bang Safril tewas mengenaskan. Mayatnya ditemukan di aliran anak sungai Citarum, belasan kilometer dari tempatnya bermukim.
"Bagaimana? Sudah meninggal, Pak?" tanya Polisi di atas tebing. Kerumunan orang makin banyak. Semua melongokkan wajah ke dasar sungai, di bawah rerimbunan rumpun bambu. Lelaki itu tampak tersandar di bantaran sungai, terendam air kotor, tersangkut akar bambu
Seorang lelaki pemulung yang biasa menyusuri sungai untuk mencari rongsok dan besi tua mendekati mayat yang baru saja ditemukan. Ia menjawab dengan berteriak, "Membusuk. Pak. Mungkin sudah tiga atau bahkan seminggu. . .!"
Seorang warga tanpa ditanya memberi kesaksian: "Pada banjir kemarin mayat itu belum terlihat. Mungkin semalam, meski banjir tidak terlalu besar mayat itu terbawa air!"
"Sejauh ini apa tidak ada warga setempat yang menghilang?" tanya Pak Polisi kemudian.
"Tidak ada laporan, Pak. Tapi warga di sini rata-rata perantau. Jadi sering warga tidak saling tahu ada-tidaknya tetangga sebelah rumah kita.. . . !"
"Jadi mungkin warga perkampungan di atas sana ya?"
Seorang lelaki setengah tua datang terburu-buru. Ia seperti takut terlambat.
"Nah, ini Pak Ketua RT yang bisa memberi keterangan. . . .!" ujar si warga seraya mempersilahkan Den Prabu mendekat. "Ini Ketua RT-nya, Pak Polisi. Nama panggilannya Den Prabu. Nama aslinya Deden Permana Budi.. . . . hehe!"
Jenazah segera dievakuasi. Dimasukkan ke dalam kantung mayat, dan diusung dua orang sukarelawan menggunakan potongan bambu mendaki tebing dengan susah-payah. Hari itu juga jenazah dibawa ke rumah sakit daerah terdekat untuk dilakukan outopsi. Hasilnya gamblang, dari ciri-ciri tubuh dan kesaksian keluarga yang kehilangan anggota keluarga, korban tak lain Bang Safril. (Bersambung)