Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kebencian Abu Lahab Melekat pada Diri Mas Amin (2)

30 Maret 2018   13:57 Diperbarui: 30 Maret 2018   14:14 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penjual ketoprak keliling. Dok.pribadi

"Jangan suka nolak, Mas Amin. Terima saja. 'Ora ilok' alias pamali. Tarawaran begitu biasanya ada kelanjutannya. . .  hehehe!" ucap Bu Tin menggoda.

"Untung Mas Amin baru punya dua 'kan?  Masih boleh nambah lho. . . . !" sambung Mak Fatmah sambil tersenyum, setengah mencibir.

Mbak Purwo berlgak marah. Wajahnya dibuat sangar. "Ah, ibu-ibu ini terus menjurus ke situ lho. Emangnya saya mau dijadikan yang ketiga ya?" sergah Mbak Murwo dengan suara sengaja dikeraskan.

Mas Amin Kartamin hanya tertawa saja tanpa berpikir apapun. Ia diam-diam meracik ketoprak, dan membungkusnya dengan cepat. Lalu diserahkan kepada Mbak Murwo. "Ini dua bungkus ketoprak, sekalian untuk anak-anak di rumah. Sambelnya dipisah. . . .!" Mbak Murwo mengangguk dan menerima bungkusan itu dengan sangat senang. Ia pun segera meracik segelas jamu sehat lelaki komplit. Lalu diserahkan kepada Mas Amin.  "Ini kubuat khusus untuk Mas Amin, Pakai telur ayam kampung, madu, dan jamu seduh sehat lelaki. Supaya nanti pulang ke rumah dua isteri terlayani dengan baik. . . . hehe!"

Giliran Mas Amin senang, dan diperlihatkan dengan mengacungkan jempol. Bu Tin dan Mak Fatmah balas mengacungkan jempol, lalu digoyang-goyangkan.

"Nah begitu, sesama pedagang harus kompak. Ini memberi contoh pada kita semua, juga contoh untuk para ustad-ustadzah, para pemimpin, para politikus, seniman-budayawan-biduan. Semua kompak. Tidak boleh saling iri dan benci. Apalagi saling fitnah dan caci-maki. Biarlah sifat pembenci dimiliki oleh Abu Lahab dan Abu Jahal saja.. . . .!" ucap Bu Tin sok menasihati.

"Ada satu lagi yang punya sifat pendengki yang belum disebut, Bu. . .!" sahut Mas Amin spontan.

"Siapa?" tanya Mbak Murwo sudah terlalu yakin bahwa namanya bakal disebut.. "Jangan sebut namaku ya. .  .?" 

"Musailamah Al Kadzab. Si nabi palsu. . . . . !" ucap Mas Amin kalem. Sejak dinamai orang sebagai Abu Lahab, Mas Amin rajin memperhatikan ceramah para Ustad terutama yang mengenai para pendusta pada zaman Rasulullah. Ia tidak ingin seperti mereka. Tapi sakit hati karena disebut meyerupai Abu Lahab sudah terlanjur sukar diobatan   

Mbak Murwo terkecoh, malu. Bu Tin dan Mak Fatmah tersenyum melihat tingkah dua orang itu.

Sudah lama Mbak Murwokanti naksir Mas Amin Kartamin. Perempuan itu janda muda dengan dua anak usia balita. Konon dulu ia kembang desa. Pantas saja jadi rebutan para perjaka. Namun sial, lelaki yang dipilih untuk jadi suaminya justru si tukang judi. Tak sampai dua tahun rumah-tangganya buyar. Ia tercampak, dan rela ikut terjerat utang. Terpaksa ia nekat merantau, dan menjadi menjual jamu. Sedangkan Mas Amin meski usia jelang lima puluh masih tampak awet muda. Ia kurus dengan kumis tipis, dan jika tersenyum rasa-rasanya banyak perempuan kepincut, seperti tersihir. Mas Amin tidak menanggapi gurauan, permintaan, dan apalagi rayuan Mbak Murwo. Ia tahu diri, isterinya sudah  dua, anak tujuh orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun