Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tuntutan Tujuh Tahun Penjara untuk Pak RT

22 Maret 2018   09:47 Diperbarui: 23 Maret 2018   05:59 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pos Ronda 'klub banting kartu' kembali ramai tadi malam. Pembicaraan berkisar mengenai enam orang yang terdakwa penelanjangan sejoli di Tangerang yang menjalani sidang tuntutan di PN Tangerang, Selasa (20/3/2018). Salah satu terdakwa, yaitu Komarudin sebagai Ketua RT yang dituntut 7 tahun penjara.

Berita itu menjadi sangat kontekstual bagi mereka sebab sangat dekat dengan kehidupan warga dan kepengurusan RT Kampung Kalajengking itu.

"Tujuh tahun tuntutan. Bayangkan, untuk sebuah tindakan yang diluar nalar, yang entah oleh alasan apa. . . !" komentar Edi Mur dengan suara penuh tekanan dan perasaan.

"Kadang karena emosi massa apapun terjadi. Dua sejoli yang disangka berbuat mesum lalu dianiaya, ditelanjangi, dan diarak keliling kampung. Tiga kejahatan sekaligus dilakukan. Dan tidak ada warga yang coba mencegah. Gila. Keterlaluan. Bodoh. Ya, entah harus berkomentar apa lagi. . .!" tambah Mas Bejo seraya geleng-geleng kepala.

Dua lelaki itu membaca di media online. Dan cerita itu mengingatkan mereka pada banyak peristiwa lain yang didalangi warga. Pembakaran terduga pencuri ampli mushola, salah satu yang menjadi fenomenal sebab belakangan diragukan bahwa si korban tewas  memang mencuri. Ada pula Ketua RT yang diam karena mendapat setoran oleh para pelaku kejahatan, sehingga ketika tindak kriminal itu terungkap Polisi maka ia pun ikut terseret kasus hukumnya.

Tak lama datang Lik Sumar, Kang Murbani, dan Wak Ja'far nimbrung.

"Hanya ketua RT saja sudah menyalahgunakan kekuasaan apalagi. . . . !" komentar Lik Sumar tidak diteruskan. Ia melihat ke arah Mas Bejo yang wajahnya mengkerut, sebab membayangkan dirinya sebagai Ketua RT juga bakal dijadikan obyek bahasan.  "Ohh, tapi kalau Pak Bejo pasti jauh dari sifat itu.. . . . hehe!"

"Ya, siapapun sebenarnya kalau bersikap arogan cepat atau lambat bakal terkena batunya. Komarudin itu, entah apa latar belakangnya. Jadi di posisi manapun kita akan sangat tidak mengenakan. Jadi korban, sudah sakit pakai malu. Jadi terdakwa, tidak kebayang hidup di bui selama tujuh tahun. .  .!" komentar Kang Murbani tak kalah sengit.

Wak Ja'far tertawa saja. Ia tidak berkomentar. Tentu saja yang lain heran, bukan kebiasaan Wak Ja'far untuk bungkam.

"Apa komentarmu, Wak Ja'far?" tanya Edi Mur seolah memaksa lelaki jomblo itu untuk meramaikan dengan komentar apapun.

"Heran. Cuma heran. Bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Dan bagaimana kita di sini kalau menghadapi peristiwa serupa.,. . . .!" akhirnya Wak Ja'far berkomentar.

"Maksudmu?" tanya Mas Bejo.

"Ada pasangan yang dituduh selingkuh.. Lalu warga ingin bertindak. Tapi yang terjadi justru peristiwa kriminal. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa itu?"

Tak perlu waktu lama, kartu gaple dikeluarkan. Dan pembicaraan makin ramai, penuh semangat. Para anggota 'klub banting kartu' malam itu mendapatkan beberapa pelajaran sekaligus. Pertama, berita apapun di media selalu menarik untuk dibahas dan dipelajari untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Kedua, memiliki kekuasaan sekecil apapun selalu cenderung untuk menyalah-gunakannya. Oleh karena itu teruslah belajar untuk arif-bijaksana, adil, penuh perhitungan. Ketiga, bermain kartu gaple sambil membicarakan kesalahan orang lain sungguh sangat menyenangkan. Pos ronda jadi semarak oleh gelak-tawa. Bapak-bapak lain ikut nimbrung. Terlebih ketika Bu Tini Subejo mengeluarkan tiga piring singkong goreng dan seceret kopi panas.

"Tumben, Bu?" komentar Pak Edi Mur dengan tertawa-tawa.

"Kok tumben?" sahut Bu Tin kurang paham.

"Biasanya 'kan martabak manis. . .. Hehehe " Lik Sumar yang  menjawab.

Bu Tin menunjuk pada Mas Bejo. Bapak-bapak tertawa. Lalu secepat itu gelas-gelas diisi. Piring-piring diedarkan, dan singkong goreng yang gurih-empuk pun segera beralih ke dalam kunyahan.

***

Jelang tengah malam. Suasana tenteram, warga sudah mulai berangkat ke peraduan. Tiga orang lelaki yang bertugas ronda

"Nikmatnya apa menelanjangi orang lain ya, Pak?" tanya Mak Fatmah ketika bersiap hendak tidur.

"Nikmatnya apa? Balas dendam, geram dan marah sekali, atau sekadar cari sensasi dan kesenangan murah. .  ..! Entah. Tapi mereka yang jadi terdakwa dalam kasus tersebut pasti akan berhitung. Nikmat sesaat harus ditebus dengan jeruji besi berbilang tahun.. . . . !" jawab Pak Edi Mur dengan mata sudah sangat mengantuk. Ia membenamkan diri dalam sarung danmenghadap tembok.

"Tadi di pos ronda ngobrol soal itu juga ya, Pak?" tanya Mak Fatmah lagi.

Namun tidak ada jawaban. Pak Edi Mur sudah terbang entah kemana. Suara nafasnya saja yang terdengar teratur, menandai lelap sudah mencandainya.  

Mak Fatmah tersenyum sendiri melihat suaminya sudah tersungkur. Agak 'kuciwa' sih. Padahal mestinya pembicaraan dapat diperpanjang sampai jauh. Ya, soal telanjang-menelanjangi 'kan hanya urusan antara suami dan isteri, di tempat privasi, dan pasti juga tanpa kekerasan fisik maupun psikhis.

***22/3/2018***

 Gambar

Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun