Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kalau Tidak Nyinyir Gatal-gatalkah?

13 Maret 2018   06:20 Diperbarui: 13 Maret 2018   11:51 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai memasukkan buah catur ke dalam kotak dan menutupnya dengan rapat, dua lelaki jomblo itupun meneruskan malam mingguan mereka dengan ngorol sambil menghabiskan sisa kopi, dan kembali menyulut sebatang rokok. Mereka duduk saling membelakangi.

"Untuk apa juga kita pulang cepat, ya?" ucap Kang Murbani sesaat setelah bersandar di dinding papan Pos ronda.

"Tidak ada yang mengharapkan kita pulang 'kan? Inilah nikmatrnya gaya hidup para jomblo. Tidak ada kewajiban apapun. Pulang atau tidak, bebas. . . .!" sahut Wak Ja'far menanggapi.

"Sebenarnya tabu untuk diobrolkan ya. Tapi nasib kita 'kan sama. Sama-sama jomblo. Bedanya kamu punya isteri lari dengan lelaki lain. Sedang aku belum sempat punya isteri lantaran cewek yang kutaksir menolak mentah-mentah pinanganku. . . . !" ucap Kang Murbani dengan nada sedih. "Hidup ini memang begitulah yang terjadi. Semua orang punya ceritaya masing-masing. . . .!"

"Tapi kita mestinya masih penuh semangat untuk mencari isteri. Umur baru saja lewat empat puluh. Masih banyak yang mau. Yang penting dompet tidak kempes saja untuk memulai rumah tangga yang baru. . . . hehehe.. .!" Wak Jafar merasakan udara malam makin dingin. Terasa embusan angin agak basah. Mungkin sebentar lagi hujan turun. "Sudah ngantuk, Kang? Lain kali kita main catur lagi ya?

"Belum ngantuk sebenarnya. Tapi sebaikya kita memang pulang. Tidur. Besok pagi setelah sholat subuh langsung bersiap olahraga sebelum berangkat bekerja. Tubuh harus dipelihara supaya masih laku untuk mencari isteri. . .!" ucap Kang Murbani. "Tapi ngomong-ngomong kenapa Wah Ja'far suka permainan catur? Mungkin alasan kita sama. Kenapa?"

Wak Ja'far tertawa. Ia menggeleng-geleng, dan berguman sendiri tidak jelas apa. Beberapa saat kemudian baru bicara. "Dulu isteriku cerewetnya ampun-ampun. Tidak pagi, siang, malam. Hampir dua puluh jam sehari nyinyir. Dan tidak pernah kutanggapi. Aku terlalu sibuk main catur, hampir dua puluh empat jam sehari pula. Maka aku senang ia lari dengan orang lain. Telingaku tidak terganggu nyinyirannya lagi. Aku dapat berkonsentrai main catur. . .!"

"Artinya, isterimu kalau tidak nyinyir bakal gatal-gataku Sebaliknya kalau kamu tidak main catur pun entah penyakit apa yang akan hinggap. Maka bubaran. Memang biasanya perempuan banyak nyinyir. Tapi dalam politik kok justru laki-lagi yang nyinyir. . . . hehe!"

"Sudahlah, ayo kita pulang saja. Nanti lama-lama kita pula jadi seperti dua ikan buntal yang suka nyinyir itu. . . . .. Pulang kita," Wak Ja'far beranjak. Ia bergeser ke ujung dan menunduk mencari-cari sandal dengan kakinya di kolong. Agak lama baru ketemu. Ketika ia menoleh ke arah Kang  Murbani, tidak ada siapa-siapa di situ. Kosong. Sepi.

Wak Ja'far kabur.  Seperti orang ketakutan dikejar bayangannya sendiri. Ia membatin, jangan-jangan Kang Murbani langsung pulang begitu permainan catur selesai? Jadi siapa yang kuajaknya ngobrol tadi? Ngobrol sendiri? Wak Ja'far tidak mau memikirkannya lebih jauh. Sampai rumah ia meneruskan bermain catur sendiri di depan komputer!***

Bandung, 13 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun