Muskita binti Mustajab kembali menyeruput sisa es teh. Dingin, seperti udara malam yang makin dingin di kota pegunungan itu. Ia tak peduli meski lidahnya dirasa membeku, dan terus menyeruput hingga menyisakan butiran es batu.
Pikirannya dari tadi melayang kemana-mana, bicara sendiri, seperti tokoh antagonis padaa sinetron lokal. Semua ini iseng saja, jadi waspadalah mengenali pancingan dari orang-orang iseng. Terlebih ketika keisengan itu sudah jadi urusan polisi. . . . .! itu nasehatku padamu. . . .ya padamu!
Muski menunjuk bayangan dirinya sendiri di dalam cermin besar di kamar itu. Wajahnya keras, lalu seulas senyum lewat. Malam minggu beringsut lambat jelang puncak. (Selesai)***
Bandung, 16 Juni 2016– 5 Maret 2017