Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen I Iseng Saja, Waspadalah (2)

5 Maret 2017   10:24 Diperbarui: 21 Maret 2017   20:01 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wajah di balik wajah

Lampu smartphone berkedip-kedip lucu, berturut-turut. Dengan nada panggil yang khas -suara kodok bangkong sedang kasmaran- memberi tahu pasangan kencannya entah di belahan kolam mana. Menirukan kesukaan Pak Jokowi pada suara kodok, Muski merasa dekat dan hebat, dan terlebih se-ide dangan presiden ceking yang nyentrik itu.

Muski dengan bersemangat membuka sms yang masuk. Terturutan. Pancingannya mendapatkan sambaran cepat.

“Eh ini Bang Hans, ya? Tumben? Datang saja! Aku tahu kebiasaanmu pakai nomor nggak dikenal. Caramu menulis sms pun aku hafal. . . . . .!” jawab pertama pasti seorang perempuan seperti sedang merindukan fans-nya.

“Aku takut kamu sudah kehilangan kewarasan. Kamu lupa minum obat tidurmu!” jawab kedua dengan nada marah.

“Mampus, Lu. . . .!” ancam jawaban lain.

“Ayo kita ketemu saja di simpang lima. Kita berantem kalau kamu jantan. Aku pacar Yolanda!” jawab sma ke empat, dengan nada kalimat tak kalah marah.

Muski menyeruput es teh dari cangkirnya. Sejuk di langit-langit rongga mulut, manisnya mengigit lidah, menggetarkan tenggorokan. Dingin es itu merambat lambat ke dada. Sensasi es teh itu diikuti kemudian dengan sedotan dalam pada lintingan rokok seperti yang pernah dilihatnya kala kakeknya dulu masih sehat di kaki Gunung Merbabu. Rajangan kasar daun tembakau hasil tanaman sendiri, ditambah klembak, menyan, dan sedikit daun ganja. . . hehe. Bukan, tapi cengkeh.

Dulu orang menyebut rokok bikinan sendiri itu rokok dukun. Baunya kuat menyengat, memunculkan aroma mistis serasa terjebak di kuburan tua pada gulita tengah malam Jumat Kliwon.

“Kreativitas dan imajinasi tumbuh subur karena iseng. Tidak harus sampai tuntas. Proses dan keberanian mengeksekusi menjadi hal lain yang tak kalah penting. Dan apapun itu, demikianlah kehidupan berlangsung. Mungkin saling menyakiti, saling membunuh, tapi bisa jadi sebaliknya saling menyayangi. . . . ., entahlah!” ucap Muski asal-asalan, lagaknya seorang pembicara ulung di atas mimbar yang terhormrat.  “Ah, sudahlah. Semua itu iseng saja. Jangan dimasukkan ke dalam hati. Nah, minumlah es tehmu, Nona!”

Muski seperti sedang bermonolog untuk mengakhiri keisengannya malam itu. Di luar sana suara lalu-lintas masih riuh. Nyaring mesin kendaraan menderu, gerungan knalpot, dan derit rem bersahutan. Malam belum terlalu malam. Mustika membayangkan pada jam kedua suasana orang berpacaran, pasti makin rapat, makin lengket, makin lumat saja. . . . . ah ah.

Ah ya, andai saja pacaran yang kelima yang pernah kulakoni dulu tidak kandas, gumam Muski dengan sedikit haru. Lelaki itu memenuhi semua syarat ideal seorang calon suami, kecuali satu hal: ia sudah sepuluh tahun beristeri dengan dua anak usia balita yang mencintainya. Olalaaaa.. . .! Ia tidak ingin meladeni janji lelaki yang gampang obral janji. Tidak juga untuk lelaki cabul yang suka bertindak kejam ketika kepepet untuk mempertanggung-jawabkan kedunguannya. Ia tidak ingin namanya menambah panjang daftar korban mutilasi brutal.

Muskita binti Mustajab kembali menyeruput sisa es teh. Dingin, seperti udara malam yang makin dingin di kota pegunungan itu. Ia tak peduli meski lidahnya dirasa membeku, dan terus menyeruput hingga menyisakan butiran es batu.

Pikirannya dari tadi melayang kemana-mana, bicara sendiri, seperti tokoh antagonis padaa sinetron lokal. Semua ini iseng saja, jadi waspadalah mengenali pancingan dari orang-orang iseng. Terlebih ketika keisengan itu sudah jadi urusan polisi. . . . .! itu nasehatku padamu. . . .ya padamu!

Muski menunjuk bayangan dirinya sendiri di dalam cermin besar di kamar itu. Wajahnya keras, lalu seulas senyum lewat. Malam minggu beringsut lambat jelang puncak. (Selesai)***
Bandung, 16 Juni 2016– 5 Maret 2017

Cerita sebelumnya

Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun